Pertama, apakah K akan menjadi besar jika Kompasianer diposisikan sebagai "buruh" yang bekerja (menulis) sesuai "program bisnis konten" yang dibuat Admin K secara sepihak? Â
Kedua, apakah mayoritas artikel non-topil yang ditulis Kompasianer "berdaulat" (tak mengabdi pada topil) tergolong noise yang akan membuat K kehilangan pengunjung?
Jika jawaban kedua pertanyaan itu "Ya", maka silahkan lanjutkan program terindikasi diskriminatif itu. Â Bahwa K akan ditinggal Kompasianer yang ogah didikte, ya, biarkan saja. Patah tumbuh hilang berganti, bukan?
Tapi jika jawaban kedua pertanyaan itu "Tidak", lalu mengapa Admin K tidak menghargai mayoritas Kompasianer yang memilih merdeka dalam menulis? Apakah mereka dianggap sampah yang tak ada perannya bagi pertumbuhan K, kecuali sebagai polusi?
Saya menulis artikel ini sebagai pembelaan untuk kami, Kompasianer yang mendedikasikan diri menulis fiksi dan humor. Itu dua jenis tulisan yang susah, kalau tak mau bilang, ogah tunduk pada paksaan atau tekanan topil.
Jika Admin K tidak suka pada artikel ini, maka saya hanya bisa katakan "Kritik adalah pujian yang pahit." Itulah cara saya, Don Quixote de la Kompasiana, mencintai Admin K dan K. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H