"Pembaca emosional sangat berkuasa mendudukkan artikel-artikel bermutu rendah di ruang terpopuler." - Felix Tani
Kutipan di atas saya ambil -- dengan sedikit perubahan redaksional -- dari artikel "Hasil Penelitian, Mayoritas Kita Pembaca Emosional" (Kompasiana, 24/12/2014). Artikel itu saya tulis untuk menjelaskan mengapa artikel bermutu rendah bisa bertengger di ruang "Terpupuler" (waktu itu istilahnya "Trending Topic").Â
Seandainya Mas Yos Mo tidak me-rate artikel lawas itu beberapa hari lalu, saya tak akan ingat pernah menulisnya. Terima kasih untuk Mas Yos yang, entah dengan cara bagaimana, bisa mengakses artikel yang sudah berada  di dasar tumpukan arsip itu.Â
Mengapa artikel itu saya angkat kembali di sini? Sebab dia bisa menjelaskan mengapa artikel bermutu rendah bisa memanen views berjibun dan meraja di ruang "Terpopuler".
Emosi. Itulah faktor penentunya. Tepatnya, para pembaca emosionallah yang telah menjadikan suatu artikel menjadi "terpopuler" atau trending di Kompasiana (K).
Dalam artikel tadi, hal itu saya buktikan dengan kasus dua artikel bermutu rendah yang saya agihkan di K. Satu artikel repetisi berita penganuliran hasil survei yang memenangkan Prabowo pada Pilpres 2014. Satunya lagi artikel hoaks tentang pilot Garuda yang mengadukan musisi Ahmad Dhani kepada polisi.
Dua artikel itu menjadi "terpopuler" karena ulah para pembaca emosional. Berita penganuliran hasil survei itu langsung disantap oleh pembaca yang secara emosional berpihak pada Jokowi atau Prabowo. Sementara artikel satu lagi disantap pembaca yang emosional pada Ahmad Dani karena mengatai pilot Garuda "Kampret".
Sempat terpikir, setelah tujuh tahun berlalu, pembaca emosional di Kompasiana (K) berkurang karena telah berubah menjadi pembaca rasional. Ternyata saya salah. Pembaca emosional tetap menjadi kelompok mayoritas di K. Kuasa merekalah yang menempatkan artikel-artikel bermutu rendah di ruang "Terpopuler".
Apa kriteria artikel "bermutu rendah"? Walau tak sepenuhnya percaya pada kriteria penilaian Admin K, agar objektif, saya terima saja keputusan Admin. Artikel bermutu di Kompasiana adalah artikel yang naik ke ruang "Artikel Utama" (AU). Titik!
Perhatikan baik-baik. Mayoritas artikel yang bercokol di ruang "Terpopuler" bukan kategori AU. Berarti bukan artikel bermutu tinggi menurut ukuran Admin K. Artikel bermutu tinggi lazimnya bisa tembus ke ruang "Terpopuler" apabila penempatannya sebagai AU mendulang banyak views.
Lantas siapakah pembaca emosional di Kompasiana? Mungkin kita semua, Kompasianer dan Non-Kompasianer. Sebab kita semua punya pikiran dengan dua sisi, rasional dan emosional. Kalau yang dominan sisi emosi, maka kita pembaca emosional. Jika rasio yang dominan, berarti kita pembaca rasional.Â
Cara mengeceknya gampang. Kalau memilih dan membaca artikel di K berdasar sentimen, berarti pembaca emosional. Jika memilih dan membaca artikel berdasar  manfaat, berarti pembaca rasional.
Ambil kasus artikel-artikel polemik K-Rewards yang masih hangat di K. Saat memutuskan mengklik dan membaca artikel-artikel itu, apa pertimbangan pertama yang mendasarinya?Â
Pilih jawaban: (a) aku berteman/kenal dengan penulisnya, (b) judul artikelnya menarik/mewakili isi hati atau perasaanku, (c) topiknya sesuai kegemaran atau minatku, (d) judul artikelnya menawarkan manfaat bagiku.Â
Saya duga, jawabanmu adalah (a) dan atau (b). Itu alasan emosional. Kalau pilih jawabab (c) atau (d), berarti perilaku menyimpang.
Pertanyaan serupa berlaku juga bagi para pembaca artikel spoiler manga di K. Entah mereka Kompasianer atau bukan. Dari empat pilihan tadi, hampir pasti alasan utamanya karena topik artikel itu sesuai kegemarannya pada manga.
Maka puluhan atau ratusan ribu penggemar manga, yang tergabung dalam berbagai komunitas, pasti langsung melahap setiap artikel yang mengulas manga kegemarannya. Tak perduli siapa penulis dan mutu tulisannya. Itu jelas emosional.
Apakah saya sedang mengatakan artikel-artikel polemik K-Rewards dan spoiler manga itu bermutu rendah? Tentu saja begitu. Faktanya, Admin K tak menaikkannya ke ruang AU, bukan?
Apakah buruk menjadi pembaca emosional? Saya tak hendak menghakimi. Tapi saya melihat sedikitnya dua ketakbaikan.Â
Pertama, pembaca emosional cenderung menjadi korban eksploitasi para penulis clickbait. Semata-mata untuk tujuan mendulang views. Penulis meraup cuan, pembaca emosional gigit jari.
Kedua, jibunan views pembaca emosional bisa menimbulkan tirani mayoritas. Misalkan ada dua artikel dengan topik sama di K, satu menjadi  "Terpopuler" dan satunya lagi AU tapi gagal populer (macam ini banyak juga). Lalu muncul kesimpulan, artikel "terpopuler" itulah yang "benar" karena ia dibaca banyak orang.  Ini argumen sesat, argumentum ad populum atau appeal to the majority.Â
Saya ingin menutup artikel ini dengan sebuah pertanyaan reflektif: Apakah kamu seorang pembaca emosional? Jika jawabnya "Ya!", kamu berkuasa menempatkan artikel bermutu rendah ini di ruang terpopuler K. (eFTe)
*Artikel ini dianggit dan diagihkan sebagai hadiah ulang tahun untuk rekan Kompasianer Mas Susy Haryawan. Sugeng tanggap warsa, Mas Susy.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H