Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Daun Pisang untuk Net-Zero Emissions

24 Oktober 2021   23:44 Diperbarui: 25 Oktober 2021   00:10 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lemper ayam bungkus plastik (Foto: cookandrecipe.com)

Kerjakan lebih dahulu satu soal ujian kelas enam SD Lalijiwo berikut dengan cermat. Baru kemudian baca selanjutnya.

Soal: Pembungkus lemper ayam yang bersifat bersih gas buangan (Net-Zero Emissions) adalah: [a] kertas roti, [b] plastik, [c] daun pisang, [d] jawaban a, b, dan c benar.

Ah, kamu lelet banget. Keduluan oleh Joko, seorang murid kelas enam SD Lalijiwo. Jawaban Joko:  [c] daun pisang. Tepat!

Apakah Joko sedemikian cerdasnya, sehingga bisa menjawab cepat dan tepat? 

Tidak! Joko hanya berpatokan pada tradisi yang diikuti simboknya. Lemper, panganan ketan berisi cacahan daging ayam bumbu, itu selalu dibungkus simboknya dengan daun pisang. Kalau tak begitu berarti ..., entahlah.

Joko tidak tahu. Lemper berbungkus daun pisang itu adalah bentuk kearifan lokal tentang ramah lingkungan. Jangan merusak tanah, air, dan udara yang memberimu hidup. 

Daun pisang, bungkus lemper, itu hasil bumi. Murni hasil proses biologis. Tanpa emisi atau buangan aneka gas rumah kaca -- semacam karbondioksida, metana, dan nitrooksida  -- yang bersifat merusak ke udara atau atmosfir.

Sebaliknya dengan kertas/plastik. Proses produksinya di pabrik melepas gas rumah kaca ke udara.  Proses produksi kertas bahkan menggunduli hutan. Itu menurunkan daya serap bumi terhadap gas rumah kaca.

Lemper ayam dibungkus daun pisang dan kertas roti (Foto: cookpad.com)
Lemper ayam dibungkus daun pisang dan kertas roti (Foto: cookpad.com)

Lemper ayam bungkus plastik (Foto: cookandrecipe.com)
Lemper ayam bungkus plastik (Foto: cookandrecipe.com)

Gas rumah kaca, kata para saintis, menyebabkan lapisan ozon di atmosfir bumi bolong. Dalam imajinasi Joko, bumi jadi semacam bola plastik yang bolong-bolong disundut rokok. 

"Ngeri," kata Pak Widodo, guru kelas Joko, "kalau ozon bolong, panas sinar matahari tak tersaring. Suhu tinggi langsung memanggang kepalamu. Mengencerkan otakmu, hingga meleleh dari lubang kupingmu."

Joko bergidik. Bukan karena soal "otak encer". Itu sih,  dia mau banget. Tapi soal "otak meleleh dari lubang kuping". Dia takut tak punya otak.  

Dari soal ujian tadi, Joko kemudian menarik kesimpulan.  Pernyataan 1:  Orang tak berotak membungkus lemper dengan plastik/kertas. Pernyataan 2:  Mbok Sembrana membungkus lemper dengan plastik/kertas. Kesimpulan: Mbok Sembrana orang tak berotak.

Mbok Sembrana itu adalah pengurus kantin SD Lalijiwo.

***

Para simbok perajin lemper jangan diajari bikin lemper berbungkus daun pisang. Itu ibarat kamu ngajarin ayam betina berkotek. Emangnya kamu bisa berkotek?

Yang perlu diajar adalah para produsen kertas/plastik. Jangan memprovokasi para simbok pakai kertas/plastik untuk bungkus lemper. Dengan iming-iming lebih praktis, murah, dan aman.

Lebih praktis dan murah? Tergantung situasinya. Kalau punya pohon pisang sendiri, ya, lebih praktis dan murah pakai daun pisang. Kertas/plastik kudu beli ke pasar, kan? Perlu modal.

Lebih aman? Tentu saja aman untuk dompetmu, wahai, produsen kertas/plastik. Tapi jelas gak aman untuk bumi. Tadi sudah dibilang, poses produksi kertas/plastik melepas gas rumah kaca yang merusak atmosfir.

Manusia pengagung modernisasi  harusnya malu kepada manusia pelestari tradisi. Para pelestari tradisi, seperti simbok perajin lemper berbungkus daun pisang, tak perlu sekolah tinggi untuk tahu cara menjaga atmosfir. Tapi manusia modern harus melakukan riset canggih dan mahal, hanya untuk menemukan ulahnya telah melepas gas rumah kaca yang merusak atmosfir.

Lemper ayam berwawasan ZNE, dibungkus daun pisang asli (Foto: cookandrecipe.com)
Lemper ayam berwawasan ZNE, dibungkus daun pisang asli (Foto: cookandrecipe.com)

Leluhur kita, sebagaimana diwarisi warga desa sebagai tradisi, sejak dahulu kala sudah menerapkan teknologi berwawasan Net-Zero Emissions (NZE). Daun pisang pembungkus lemper hanya satu contoh. Masih ada daun jati, daun talas, daun kecombrang, daun bambu, dan daun jambu air. Itu semua bahan pembungkus panganan.

Karena itu kampanye NZE lebih cocok ditujukan pada warga kota modern yang menyebut diri masyarakat 3.0, 4.0, bahkan 5.0 itu. Pesan utamanya, pertama, kurangi frekuensi dan intensitas penggunaan bahan/alat/mesin penghasil gas rumah kaca. Misalnya pestisida, motor, dan mobil konvensional.

Lalu, kedua, kurangi frekuensi dan intensitas penggunaan bahan/alat yang diproduksi pabrik pelepas gas rumah kaca. Misalnya, ya, kertas dan plastik tadi.

Sulit? Tentu saja. Sebab itu berarti harus melepas simbol-simbol status warga kota modern. 

Tapi terserah saja. Mungkin warga kota modern itu lebih suka otaknya mengencer direbus suhu mahatinggi matahari. Sebab bukankah mereka mengklaim diri sebagai warga "berotak encer"?  

***

Sudahi dulu kisah Joko dan lemper ayam. Beralih ke kisah Poltak di Gang Sapi di Jakarta. Ada cerita menarik soal net-zero emissions di sana.

Poltak membangun hutan mini di pekarangan rumahnya yang sempit. Menurutnya, hutan mini itu kira-kira cukuplah untuk menyerap gas rumah kaca yang dibuangnya tiap hari. Entah itu  lewat kompor gas, knalpot mobil, pendingin ruangan, kulkas, ataupun penggorengan.

Paling tidak, pikir Poltak, jika dikenakan pada keluarganya, prinsip NZE sudah coba dijalankannya. 

Di hutan mini itu, pohon pisanglah penyumbang terbesar pada upaya pencapaian NZE. Batang dan pelepah daunnya dikembalikan ke tanah jadi pupuk organik. Poltak tidak perlu pakai pupuk kimia yang melepas gas rumah kaca saat diproduksi dan digunakan.

Daunnya digunakan untuk pembungkus aneka panganan. Lemper ayam, arem-arem, lepat, lupis, nagasari, ketimus, dan aneka pepes.

Juga digunakan untuk alas makanan pada momen bancakan, makan rame-rame. Atau sekadar alas lauk ikan yang baru dibakar atau digoreng.

Baru-baru ini Poltak punya inovasi baru di bidang penggunaan daun pisang. Bosan dengan daun pisang segar, dia coba bikin daun pisang kering.

Caranya begini. Ambil daun pisang termuda yang baru mekar di pucuk pohonnya. Warnanya harus masih hijau pupus. Pencirinya, daun di pangkal pelepahnya masih bergelung.

Lalu keringkan daun pisang dengan tulang daunnya di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung. Misalnya di teras rumah. 

Tunggu sekitar dua minggu. Hasilnya adalah daun pisang kering yang lentur, tidak mudah sobek, berwarna coklat muda.

Daun pisang muda yang sudah kering sempurna, siap pakai (Dokpri)
Daun pisang muda yang sudah kering sempurna, siap pakai (Dokpri)

Poltak takjub karena daun pisang kering itu ternyata bisa digunakan sebagai pengganti kertas. Bisa untuk alas ikan yang baru digoreng atau dibakar. Menggantikan fungsi kertas tisu atau kertas makan.

Daun pisang kering jadi alas saji ikan bakar (Dokpri)
Daun pisang kering jadi alas saji ikan bakar (Dokpri)

Hebatnya lagi, daun pisang kering itu ternyata bisa dicuci. Lalu digunakan kembali setelah kering.

Bisa dicuci dan digunakan lagi setelah kering (Dokpri)
Bisa dicuci dan digunakan lagi setelah kering (Dokpri)

Bahkan, daun pisang kering itu bisa juga digunakan sebagai media tulis.  Pengganti kartu kertas ucapan, kertas pesan, atau catatan belanjaan.

Daun pisang kering untuk kartu ucapan (Dokpri)
Daun pisang kering untuk kartu ucapan (Dokpri)

Kalau mau, daun pisang kering itu bisa juga dipakai untuk membungkus barang-barang kecil yang mau dikirim atau diberikan kepada orang lain.  Misalnya barang dagangan daring, hadiah, atau kado.

Begitulah. Hutan mini di pekarangam Poltak di Gang Sapi Jakarta telah menjadi wahana menuju target NZE.  Dalam proses itu,  pohon pisang tampil sebagai pemeran utama. Uniknya, menurut Poltak, pohon pisang itu tumbuh dari kotoran musang pandan yang buang hajat di situ selepas makan buah pisang batu.

***

Sejatinya, dari pohon pisang, bukan hanya daunnya yang berwawasan NZE. Tapi juga batangnya yang bisa jadi pupuk organik, pengganti pupuk kimia. 

Serat pelepah pisang bisa digunakan sebagai bahan kain tenun, pengganti  benang katun dan sintetis. Atau sekurang-kurangnya bisa digunakan sebagai tali, pengganti tali plastik atau nilon.

Lebih menakjubkan lagi, kulit pisang ternyata bisa menjadi sumber listrik.  Sejumlah eksperimen telah membuktikan kulit pisang bisa menjadi pengganti baterai kering.

Paparan sederhana ini telah menunjukkan potensi besar pohon pisang sebagai wahana pencapaian status NZE. Baik dari segi kemampuannya menyerap gas rumah kaca. Maupun fungsi batang, daun, dan buahnya sebagai substitusi  produk-produk yang tak berwawasan NZE.

Karena itu, bisalah disarankan proyek NZE berbasis pisang. Untuk itu dua hal berikut dapat dilakukan. 

Pertama, menggalakkan penanaman pohon pisang secara nasional. Pemerintah dan swasta bisalah kerjasama mewujudkan, misalnya, program "Satu Keluarga Satu Pohon Pisang".

Kedua, menjadikan pohon pisang sebagai ikon NZE.  Harusnya tak ada keberatan soal ini. Kecuali kamu pembenci lemper ayam berbungkus daun pisang. Tapi, apa sih keburukan lemper ayam itu, sehingga kamu harus membencinya. (eFTe)

*Artikel ini ditulis bukan demi kemenangan melainkan kesenangan. Tapi kamu pasti tahu, kemenangan akan membawa kesenangan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun