Leluhur kita, sebagaimana diwarisi warga desa sebagai tradisi, sejak dahulu kala sudah menerapkan teknologi berwawasan Net-Zero Emissions (NZE). Daun pisang pembungkus lemper hanya satu contoh. Masih ada daun jati, daun talas, daun kecombrang, daun bambu, dan daun jambu air. Itu semua bahan pembungkus panganan.
Karena itu kampanye NZE lebih cocok ditujukan pada warga kota modern yang menyebut diri masyarakat 3.0, 4.0, bahkan 5.0 itu. Pesan utamanya, pertama, kurangi frekuensi dan intensitas penggunaan bahan/alat/mesin penghasil gas rumah kaca. Misalnya pestisida, motor, dan mobil konvensional.
Lalu, kedua, kurangi frekuensi dan intensitas penggunaan bahan/alat yang diproduksi pabrik pelepas gas rumah kaca. Misalnya, ya, kertas dan plastik tadi.
Sulit? Tentu saja. Sebab itu berarti harus melepas simbol-simbol status warga kota modern.Â
Tapi terserah saja. Mungkin warga kota modern itu lebih suka otaknya mengencer direbus suhu mahatinggi matahari. Sebab bukankah mereka mengklaim diri sebagai warga "berotak encer"? Â
***
Sudahi dulu kisah Joko dan lemper ayam. Beralih ke kisah Poltak di Gang Sapi di Jakarta. Ada cerita menarik soal net-zero emissions di sana.
Poltak membangun hutan mini di pekarangan rumahnya yang sempit. Menurutnya, hutan mini itu kira-kira cukuplah untuk menyerap gas rumah kaca yang dibuangnya tiap hari. Entah itu  lewat kompor gas, knalpot mobil, pendingin ruangan, kulkas, ataupun penggorengan.
Paling tidak, pikir Poltak, jika dikenakan pada keluarganya, prinsip NZE sudah coba dijalankannya.Â
Di hutan mini itu, pohon pisanglah penyumbang terbesar pada upaya pencapaian NZE. Batang dan pelepah daunnya dikembalikan ke tanah jadi pupuk organik. Poltak tidak perlu pakai pupuk kimia yang melepas gas rumah kaca saat diproduksi dan digunakan.