Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mandar Balige, Ikon yang Dilupakan dalam Wisata Danau Toba

26 September 2021   18:30 Diperbarui: 26 September 2021   18:42 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota-kota kecil di kawasan Danau Toba (KDT) tergolong kota tua. Terutama kota-kota sepanjang  jalan raya lintas Sumatera. Semisal Parapat, Porsea, Balige, Siborongborong, dan Tarutung.  Tapi juga "kota pedalaman" seperti Parsoburan, Doloksanggul, dan Pangururan.

Embrio kota-kota itu, dalam bentuk bius, federasi  kampung-kampung, sudah ada sebelum Belanda menjajah Tanah Batak tahun 1878. Pencirinya adalah keberadaan Onan Namarpatik, pasar besar yang dilindungi hukum, di sana. Onan itu adalah ajang interaksi ekonomi, sosial, dan politik sekali seminggu antar warga dari kampung-kampung sekitarnya.

Di masa penjajahan, sesuai kepentingan Belanda, kota-kota itu mendapat sentuhan pengembangan. Dari situ masing-masing kota mendapat penciri. Parapat kota peristirahatan. Porsea lumbung beras [1]. Balige kota tenun [2]. Siborongborong venue pacuan kuda [3]. Tarutung pusat penyebaran agama Protestan [4]. Parsoburan kawasan kebun teh [5]. Doloksanggul pusat niaga kemenyan.

Sejak 1970  hingga paruh pertama 2010-an, era pembangunan nasional, nyaris tak ada perubahan revolusioner di kota-kota itu. Semua berjalan begitu lambat. Sehingga evaluasi seturut "mata memandang" tiap sepuluh tahun tak memperlihatkan kemajuan signifikan.

Barulah di paruh kedua 2010-an ada terobosan mendasar dari pemerintah. Kebijakan pembangunan wisata mencanangkan Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai  Destinasi Super Prioritas (DSP). DSP Toba,  bersama empat DSP lainnya  (Mandalika, Borobudur, Labuan Bajo, Likupang) akan mewujudkan Wonderful Indonesia.

Pembangunan wisata pun langsung menggeliat penuh gairah di KDT. DSP Toba mengangkat potensi besar Heritage of Toba berupa kekayaaan sosial,  sejarah, budaya, geopark, dan lingkungan alam sebagai daya tarik. Ajakan "MICE di Indonesia Aja"  pun menunjuk destinasi KDT.

Rencana Induk Destinasi Pariwisata Prioritas (RIDPP) Danau Toba Tahun 2020-2045 lantas menetapkan pengembangan enam  Key Tourism Area (KTA). Ada empat KTA lama yaitu Parapat (MICE dan Rekreasi), Balige (Pusaka Kota), Pangururan (Geologi) , dan Simanindo (Budaya). 

Lalu dua KTA baru yaitu Muara (Budaya dan Geologi) dan Merek (Alam/Ekologi). Keenam KTA itu diproyeksikan menjadi pusat-pusat pertumbuhan industri wisata di KDT.

Dari enam KTA itu, karena dua alasan, saya tertarik memberi masukan untuk KTA Balige. Pertama, label "pusaka kota" mengindikasikan nilai Balige sebagai kota tua yang berperan penting dalam sejarah sosial, politik, dan ekonomi KDT.  

Kedua, kendati fokusnya "pusaka kota", RIDPP Danau Toba Tahun 2020-2045 tampaknya melupakan satu ikon sosial-ekonomi Balige yaitu mandar, sarung Balige. 

Balige adalah kota sarung. Dia telah menyarungi orang Batak. Tanpa sarung, dia bukan Balige. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun