Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Etnowisata Baktiraja, Wisata Ekologi Budaya Sawah di Kawasan Danau Toba

22 September 2021   16:12 Diperbarui: 22 September 2021   16:18 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lembah Tipang-Baktiraja (Foto: desawisatatipang.com)

Kawasan Danau Toba (KDT)  beda makna di mata pemukim dan pelancong. Bagi pemukim, etnis Batak, dia arena penghidupan. Bagi pelancong, turis dari ragam etnis/ras, dia ajang pengalaman.

Beda makna maka beda nilai.  Pemukim mengutamakan nilai sosio-ekonomi KDT. Pelancong mengutamakan nilai sosio-psikologisnya.

Bagi pemukim KDT  itu indah sejauh mewadahi mata pencaharian. Titik beratnya produksi untuk pemenuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.

Titik berat  pelancong adalah kepuasan. Baginya KDT indah sejauh memuaskan kebutuhan rekreasi, tualang, olahraga, ekspose, eksplorasi, dan spiritual.

Beda titik berat bermakna beda kepentingan antara pemukim dan pelancong. Itulah risiko konflik kepentingan "orang dalam" dan "orang luar".

Risiko seperti itu niscaya terjadi dalam proses pengembangan KDT menuju destinasi super prioritas (DSP). Sekecil apapun itu mesti diantisipasi untuk dimitigasi.  Agar dia tak menghambat pewujudan DSP Toba. 

Dalam konteks pengembangan DSP Toba, bagaimana cara menjembatani konflik  kepentingan pemukim dan pelancong itu? Salah satu cara adalah penerapan paradigma etnowisata.   

Preseden Konflik Sigapiton

Siapakah ahliwaris KDT,  Heritage of Toba itu?  Pemukim Batak, "orang dalam",  akan mengklaim diri  ahliwaris pertama sekaligus pemanfaat utama.  

Tapi "orang luar", para pelancong, akan bilang KDT itu warisan dunia  untuk kemaslahatan semua orang. Mereka juga berhak menikmati manfaatnya.

Konflik timbul bila dua klaim hak pemanfaatan itu gagal dijembatani. Konflik pertanahan di Desa Sigapiton, bagian dari Key Touirism Area (KTA) Parapat, bisa jadipembelajaran.

Di timur Desa Sigapiton, Badan Pengelola Otoritas Danau Toba (BPODT) menguasai 386.72 ha tanah hutan negara. Statusnya hak pengelolaan lahan (HPL). Tapi warga Desa Sigapiton mengklaim sebagian areal itu adalah golat, tanah adat mereka.   

Akibatnya, ketika tahun 2019 di situ BPODT membangun sarana wisata The Kaldera Toba Nomadic Escape,  warga Sigapiton berunjuk rasa menentang. Mereka  protes karena diusir BPODT dari tanah adatnya. [1] Puncaknya adalah aksi perempuan Sigapiton telanjang menghadang alat berat yang siap  meratakan tanah mereka. [2]

Selain menjadi lahan perladangan, ternyata di hutan itu ada homban, sumber air bersama. Homban itu memasok air untuk irigasi sawah dan konsumsi rumahtangga di Sigapiton. [3]

Pembukaan hutan  oleh  BPODT bukan saja menutup akses perladangan warga, tapi juga mengancam kelestarian sumber air. Risikonya, sawah Sigapitan bisa kekeringan. Lalu warga akan kehilangan mata pencaharian utamanya. [4] 

Kasus Sigapiton adalah preseden  ketakadilan distribusi manfaat. Kepentingan "orang dalam", pemukim, diabaikan. Sementara kepentingan "orang luar", pelancong, dimajukan BPODT.  Hal itu sejatinya bisa dihindari lewat penerapan paradigma etnowisata.

Ekologi Budaya Sawah di Baktiraja (Foto: Kementerian Parekraf via gajahtoba.com)  
Ekologi Budaya Sawah di Baktiraja (Foto: Kementerian Parekraf via gajahtoba.com)  

Paradigma Etnowisata 

Paradigma etnowisata berpusat pada proses konstruksi ekologi budaya oleh pemukim dan pelibatan pelancong di dalamnya. [5] Dalam konteks pengembangan DSP Toba, ada empat asumsi dasarnya. 

1. Bentang alam adalah konstruksi ekologi budaya.  KDT adalah konstruksi ekologi budaya etnis Batak. Inti budayanya hauma, sawah.[6, 7]  Di lapis luar hauma ada darat (tegalan bawang dan kacang tanah), porlak (kebun kopi dan buah), dan harangan (hutan getah dan rotan). 

2. Inti budaya adalah konteks bagi proses sosial. Proses-proses sosial pada etnis Batak berlangsung dalam konteks inti budaya sawah. Kerangka relasinya sistem sosial  Dalihan Natolu. Ini meliputi unsur hula-hula (pemberi istri), dongan tubu (kerabat segaris darah), dan boru (penerima istri). Interaksi tiga unsur itu mewujudkan distribusi akses dan manfaat ekologi budaya sawah secara berkeadilan. 

3. Wisata adalah proses peningkatan sekaligus distribusi akses dan manfaat ekologi budaya. Wisata KDT melibatkan pemukim dan pelancong. Diletakkan pada sistem Dalihan Natolu, pelancong adalah boru yang mesti dikasihi (elek marboru). Pemukim adalah hula-hula, tuan rumah yang mesti  dihormati (somba marhula-hula).  Keduanya berinteraksi meningkatkan dan mendistribusikan akses dan manfaat ekologi budaya secara berkeadilan  

4. Wisata adalah tindakan sosial komunikasi.  Pemukim dan pelancong adalah dua subyek setara. Mereka berkomunikasi untuk mencapai kesepahaman peningkatan dan distribusi akses dan manfaat aset ekologi budaya secara berkeadilan. 

LembahTipang (kanan bawah) dan Bakkara (kanan atas) dipandang dari bukit Batu Maranak, Tipang (Foto: pariwisatasumut.net)
LembahTipang (kanan bawah) dan Bakkara (kanan atas) dipandang dari bukit Batu Maranak, Tipang (Foto: pariwisatasumut.net)

Proposal Etnowisata Baktiraja

Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan menyatukan dua bius, federasi kampung Batak Tua yaitu Bakkara dan Tipang. Kecamatan ini berada di tepi luar selatan Danau Toba, segaris dengan Muara dan Balige di timurnya.

Dalam dokumen Rencana Induk Destinasi Pariwisata Prioritas (RIDPP) Danau Toba Tahun 2020-2045, Baktiraja adalah pinggiran KTA Budaya-Geologi Muara.  Geosite Bakkara-Tipang dihargai sebagai saujana panoramik. Investasi wisata di sana adalah pembangunan gardu pandang di bibir tebing lembah Bakkara. [8]

Dari ketinggian tebing itu bentang alam Bakkara dan Tipang memang sangat mempesona. Dua lembah itu adalah ikon komunitas lembah Batak Tua dengan ekologi budaya sawah berlatar danau permai.  

Tapi itu keindahan menurut kacamata  pelancong.  Bagi mereka, Baktiraja semata saujana, obyek pandang dari jauh.  

Saat turun ke Bakkara dan Tipang,  pelancong  juga hanya melihat ragam obyek wisata  sejarah dan budaya.  Semisal Tombak Sulu-sulu, Istana Sisingamangaraja, Sarkopagus, Batu Siungkap-ungkapon, Hariara Tungkot, Aek Sipangolu, dan Sampuran Janji.

Itu pola wisata yang diskriminatif dan tak adil. Dia mengutamakan pemenuhan kepentingan sosio-psikologis pelancong sebagai subyek. Sementara kepentingan  sosio-ekonomi pemukim terabaikan.  Mereka dan ekologi budayanya diposisikan sebagai obyek. 

Ekologi budaya Baktiraja adalah  investasi sosial-ekonomi pemukim sejak leluhur mereka hadir di sana di abad ke-13. Itu  adalah modal etnowisata komunitas adat, pemukim asli. Harusnya merekalah yang mendapat manfaat terbesar.

Diskriminasi dan ketakadilan itu  bisa direduksi melalui penerapan paradigma etnowisata.  Untuk itu tiga hal perlu disepakati. 

1. Ekologi budaya sawah adalah modal etnowisata komunitas adat sebagai hula-hula, tuan rumah. Komunitas adat di Bakkara adalah keturunan Raja Oloan (Naibaho, Sihotang, Bakara, Sinambela, Sihite, Manullang). Di Tipang,  keturunan Raja Sumba (Sihombing, Simamora).

2. Investasi wisata dari pemerintah dan swasta berpola kemitraaan dengan komunitas adat lokal.  Tujuannya peningkatan nilai tambah ekologi budaya sawah  dengan mengemasnya jadi paket wisata "kelas dunia".

3. Pelancong adalah boru yang berkunjung ke kampung hula-hula, komunitas adat.  Wisata adalah interaksi sosial antara keduanya dalam proses-proses  ekologi budaya sawah di sana.

Komplek Istana Sisingamangaraja di Bakkara (Foto: laketoba.travel/Parada Al Muqtadir Siregar)
Komplek Istana Sisingamangaraja di Bakkara (Foto: laketoba.travel/Parada Al Muqtadir Siregar)

Sebuah paket etnowisata ekologi budaya sawah Baktiraja kemudian bisa dirancang. Lingkupnya pengenalan, pelibatan dalam, dan pemahaman ekologi budaya sawah. [9]

Pengenalan diarahkan pada sejumlah artefak berikut. 

Sangkamadeha.  Dalam wujud pohon hidup, berupa hariara (Ficus sp.), Sangkamadeha ada di Tombak Sulu-sulu, tempat kelahiran Sisingamangaraja I.  Sebagai ornamen, disebut Hariara Sundung di Langit, pohon berdahan delapan, dia terukir  pada dinding Ruma Bolon kediaman Sisingamangaraja. Nasib manusia  diterakan Mulajadi Nabolon pada delapan dahannya:  raja atau hamba, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, baik atau jahat.  Tapi setiap orang dapat mengubah nasib melalui doa dan kerja keras, khususnya lewat pertanian sawah [10]

Boraspati ni Tano dan Adop-adop. Figur Boraspati Ni Tano (bengkarung) menghadap figur Adop-adop (empat payudara) adalah ornamen pada dinding depan Ruma Bolon kediaman Sisingamagaraja. Keduanya simbol, sekaligus doa, bagi kesuburan tanah dan keberhasilan sawah. 

Batu Siungkap-ungkapon.  Selain di komplek Istana Sisingamangaraja Bakkara, Batu Siungkap-ungkapon (batu buka-tutup)  juga terdapat di Tipang. Dahulu, memasuki  masa tanam, di atasnya Sisingamangaraja mengurbankan daging hoda silintong (kuda hitam) kepada Mulajadi Nabolon. Setelah itu batu akan diungkit (diungkap). Jika di bawah batu terdapat semut merah, maka warga dianjurkan menanam padi merah. Jika semut putih,  dianjurkan menanam padi putih. Melanggar anjuran berakibat gagal panen.

Ruma Siamporik.  Rumah adat mini ini adalah lumbung gabah hasil panen.  Ruma Siamporik tinggalan leluhur bisa dilihat di kampung-kampung tua Baktiraja. 

Horbo dan Tinggala.  Kerbau (horbo) dan bajak (tinggala) adalah "paket teknologi"  pengolahan tanah sawah.  Sebagai aset berharga, kerbau dikandangkan di kolong rumah Batak.  

Hauma dan Bondar.  Sawah (hauma) dan saluran irigasi (bondar) adalah  artefak utama ekologi budaya sawah di Baktiraja.  Sawah bisa milik sendiri atau mamola pinang, belah pinang atau bagi hasil.  Kerbau juga begitu.

Setelah mengenal artefak, barulah pelancong dilibatkan pada proses-proses ekologi budaya. Fokusnya pengalaman terlibat dalam tiga kegiatan utama bersawah. Di situ pelancong dipersepsikan sebagai boru yang menolong hula-hula.

Pengolahan.  Ini kegiatan membajak sawah dengan tenaga kerbau. Pelancong diajari dan dilibatkan membajak sawah.

Tanam.  Tanam padi secara marsiadapari, tolong-menolong bergilir antar warga kampung. Pemilik sawah menyediakan makan siang, kopi, dan lampet.  Menanam padi dan makan siang di sawah, dengan panorama danau, adalah pengalaman eksotis bagi pelancong.

Panen.  Panen diawali dengan mangamoti, syukuran, makan nasi hasil panen pertama bersama-sama. Setelah itu baru marsiadapari panen raya. Selepas panen raya, ada pesta gotilon, syukuran panen dengan gondang Batak. Pelancong bisa dilibatkan dalam satu atau semua kegiatan panen itu.

Pengenalan dan pelibatan pelancong akan menghasilkan pemahaman atas ekologi budaya sawah Baktiraja.  Itulah etnowisata sejati, pengalaman komunal sekaligus personal "menjadi pelakon ekologi budaya".

Dengan cara itu kegiatan wisata meningkatkan akses dan manfaat ekologi budaya. Lalu serentak memuaskan kebutuhan sosio-psikologis pelancong dan  meningkatkan manfaat sosial-ekonomi bagi komunitas adat.

Lembah Tipang-Baktiraja (Foto: desawisatatipang.com)
Lembah Tipang-Baktiraja (Foto: desawisatatipang.com)

Saran Pewujudan Etnowisata Baktiraja

Empat langkah berikut disarankan untuk mewujudkan etnowisata ekologi budaya sawah di Baktiraja.

1. Membangun kampung wisatawan dengan konsep huta ni boru.  Komunitas adat Baktiraja menyediakan sebidang tanah adat dan membangun huta ni boru, kampung penginapan wisatawan di situ. Kampung itu dikelola sesuai standar wisata profesional. Pembangunan dan pengoperasiannya bisa dilakukan kemitraaan BUMDes dan  korporasi pariwisata.

2. Revitalisasi Istana Sisingamangaraja di Bakkara.  Komplek istana ini dapat dikembangkan menjadi venue  kegiatan MICE. Ajakan "MICE di Indonesia Aja" nanti bisa direkreasi menjadi "MICE di Baktiraja Aja".

3. Pemberdayaan komunitas adat sebagai hula-hula, tuan rumah wisata. Status dan peran sebagai hula-hula wisata menuntut perubahan perilaku warga komunitas adat.  Sebagai hula-hula, warga harus memanjakan pelancong sebagai boru. Agar boru lancar membelanjakan uangnya.

4. Peningkatan aksesibilitas Baktiraja.  Pemerintah berinvestasi meningkatkan jaringan jalan dan komunikasi untuk mendukung mobilitas ruang dan waktu di Baktiraja.

Proposal etnowisata Baktiraja ini keluar dari kerangka RIDPP Danau Toba Tahun 2020-2045.  Butuh keterbukaan dan keberanian pemerintah, khususnya Kementerian Parekraf, BPODT, dan Pemda untuk mengadopsinya. Etnowisata Baktiraja niscaya menjadi ikon DSP, alasan pelancong untuk berseru kagum, "Wonderful Indonesia!" (eFTe)

Rujukan:

[1] Felix Tani, "'Tragedi Sigapiton' yang Disembunyikan dari Jokowi di Danau Toba", Kompasiana, 15 Agustus 2019.

[2] Felix Tani, "Jangan Lagi Ada Perempuan Batak Telanjang di Atas Tanahnya", Kompasiana, 1 Oktober 2019.

[3] Felix Tani, "Orang Batak dan Budaya Lembahnya", Kompasiana, 25 September 2016

[4] Felix Tani, "Pak Luhut, Otorita Danau Toba Jangan Merusak Bangunan Sosial Batak", Kompasiana, 12 September 2019.

[5] Steven Bolnick, "Promoting the Culture Sector through Job Creation and Small Enterprise Development in SADC Countries: The Ethno-tourism Industry", Geneva, International Labour Office, 2003

[6]Clifford Geertz, Agricultural Involution: The processes of ecological change in Indonesia, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1963.

[7] Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, Depok: Komunitas Bambu, 2009.

[8] Rencana Induk Destinasi Pariwisata Prioritas (RIDPP) Danau Toba Tahun 2020-2045, Kementerian Parekraf/BPODT, 2020.

[9] Felix Tani, "Wisata Ekologi Budaya Baktiraja Tanah Batak", Kompasiana, 21 Desember 2018.

[10] Felix Tani, "Hariara, Pohon Tertinggi Sejagad yang Ada di Tanah Batak", Kompasiana, 26 April 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun