Proposal Etnowisata Baktiraja
Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan menyatukan dua bius, federasi kampung Batak Tua yaitu Bakkara dan Tipang. Kecamatan ini berada di tepi luar selatan Danau Toba, segaris dengan Muara dan Balige di timurnya.
Dalam dokumen Rencana Induk Destinasi Pariwisata Prioritas (RIDPP) Danau Toba Tahun 2020-2045, Baktiraja adalah pinggiran KTA Budaya-Geologi Muara. Â Geosite Bakkara-Tipang dihargai sebagai saujana panoramik. Investasi wisata di sana adalah pembangunan gardu pandang di bibir tebing lembah Bakkara. [8]
Dari ketinggian tebing itu bentang alam Bakkara dan Tipang memang sangat mempesona. Dua lembah itu adalah ikon komunitas lembah Batak Tua dengan ekologi budaya sawah berlatar danau permai. Â
Tapi itu keindahan menurut kacamata  pelancong.  Bagi mereka, Baktiraja semata saujana, obyek pandang dari jauh. Â
Saat turun ke Bakkara dan Tipang,  pelancong  juga hanya melihat ragam obyek wisata  sejarah dan budaya.  Semisal Tombak Sulu-sulu, Istana Sisingamangaraja, Sarkopagus, Batu Siungkap-ungkapon, Hariara Tungkot, Aek Sipangolu, dan Sampuran Janji.
Itu pola wisata yang diskriminatif dan tak adil. Dia mengutamakan pemenuhan kepentingan sosio-psikologis pelancong sebagai subyek. Sementara kepentingan  sosio-ekonomi pemukim terabaikan.  Mereka dan ekologi budayanya diposisikan sebagai obyek.Â
Ekologi budaya Baktiraja adalah  investasi sosial-ekonomi pemukim sejak leluhur mereka hadir di sana di abad ke-13. Itu  adalah modal etnowisata komunitas adat, pemukim asli. Harusnya merekalah yang mendapat manfaat terbesar.
Diskriminasi dan ketakadilan itu  bisa direduksi melalui penerapan paradigma etnowisata.  Untuk itu tiga hal perlu disepakati.Â
1. Ekologi budaya sawah adalah modal etnowisata komunitas adat sebagai hula-hula, tuan rumah. Komunitas adat di Bakkara adalah keturunan Raja Oloan (Naibaho, Sihotang, Bakara, Sinambela, Sihite, Manullang). Di Tipang,  keturunan Raja Sumba (Sihombing, Simamora).
2. Investasi wisata dari pemerintah dan swasta berpola kemitraaan dengan komunitas adat lokal. Tujuannya peningkatan nilai tambah ekologi budaya sawah  dengan mengemasnya jadi paket wisata "kelas dunia".