Di timur Desa Sigapiton, Badan Pengelola Otoritas Danau Toba (BPODT) menguasai 386.72 ha tanah hutan negara. Statusnya hak pengelolaan lahan (HPL). Tapi warga Desa Sigapiton mengklaim sebagian areal itu adalah golat, tanah adat mereka. Â Â
Akibatnya, ketika tahun 2019 di situ BPODT membangun sarana wisata The Kaldera Toba Nomadic Escape,  warga Sigapiton berunjuk rasa menentang. Mereka  protes karena diusir BPODT dari tanah adatnya. [1] Puncaknya adalah aksi perempuan Sigapiton telanjang menghadang alat berat yang siap  meratakan tanah mereka. [2]
Selain menjadi lahan perladangan, ternyata di hutan itu ada homban, sumber air bersama. Homban itu memasok air untuk irigasi sawah dan konsumsi rumahtangga di Sigapiton. [3]
Pembukaan hutan  oleh  BPODT bukan saja menutup akses perladangan warga, tapi juga mengancam kelestarian sumber air. Risikonya, sawah Sigapitan bisa kekeringan. Lalu warga akan kehilangan mata pencaharian utamanya. [4]Â
Kasus Sigapiton adalah preseden  ketakadilan distribusi manfaat. Kepentingan "orang dalam", pemukim, diabaikan. Sementara kepentingan "orang luar", pelancong, dimajukan BPODT.  Hal itu sejatinya bisa dihindari lewat penerapan paradigma etnowisata.
Paradigma EtnowisataÂ
Paradigma etnowisata berpusat pada proses konstruksi ekologi budaya oleh pemukim dan pelibatan pelancong di dalamnya. [5] Dalam konteks pengembangan DSP Toba, ada empat asumsi dasarnya.Â
1. Bentang alam adalah konstruksi ekologi budaya.  KDT adalah konstruksi ekologi budaya etnis Batak. Inti budayanya hauma, sawah.[6, 7]  Di lapis luar hauma ada darat (tegalan bawang dan kacang tanah), porlak (kebun kopi dan buah), dan harangan (hutan getah dan rotan).Â
2. Inti budaya adalah konteks bagi proses sosial. Proses-proses sosial pada etnis Batak berlangsung dalam konteks inti budaya sawah. Kerangka relasinya sistem sosial  Dalihan Natolu. Ini meliputi unsur hula-hula (pemberi istri), dongan tubu (kerabat segaris darah), dan boru (penerima istri). Interaksi tiga unsur itu mewujudkan distribusi akses dan manfaat ekologi budaya sawah secara berkeadilan.Â
3. Wisata adalah proses peningkatan sekaligus distribusi akses dan manfaat ekologi budaya. Wisata KDT melibatkan pemukim dan pelancong. Diletakkan pada sistem Dalihan Natolu, pelancong adalah boru yang mesti dikasihi (elek marboru). Pemukim adalah hula-hula, tuan rumah yang mesti  dihormati (somba marhula-hula).  Keduanya berinteraksi meningkatkan dan mendistribusikan akses dan manfaat ekologi budaya secara berkeadilan Â
4. Wisata adalah tindakan sosial komunikasi. Â Pemukim dan pelancong adalah dua subyek setara. Mereka berkomunikasi untuk mencapai kesepahaman peningkatan dan distribusi akses dan manfaat aset ekologi budaya secara berkeadilan.Â