Penguasa legal formal di dalam satu kantor bukannya tak tahu ada penguasa ilegal-informal di bawahnya. Â Tapi gejala semacam itu cenderung didiamkan saja, sepanjang menurut penilaiannya tak mengancam posisinya atau merusak kinerja kantor secara keseluruhan. Â Apalagi jika penguasa ilegal-informal itu adalah kaki-tangan atasan. Â Ya, atasan akan tutup mata saja.
Secara sosiologis, itulah yang terjadi pada MS di KPI.  Ada persekutuan janggal antara penguasa legal-formal dan penguasa ilegal-informal di KPI.  Sehingga tindakan pelecehan  oleh pegawai "penguasa ilegal-informal" terhadap seorang pegawai legal-formal terbiarkan selama bertahun-tahun.  Sulit untuk tak mengatakan tindakan pelecehan itu sudah relatif melembaga di sana.
Saya khawatir, kasus MS di KPI itu sebenarnya hanya semacam pucuk "gunung es pelecehan" di kantor-kantor pemerintah. Â Sebab sudah menjadi rahasia umum juga adanya kasus-kasus pelecehan seksual terhadap pegawai perempuan oleh pegawai lelaki atau bahkan oleh atasannya yang kebetulan lelaki. Â Ingat kasus Baiq Nuril dari Lombok, NTB.Â
Barangkali sudah saatnya Kementerian PAN lebih serius untuk merumuskan kebijakan, program, dan instrumen yang tegas untuk mereduksi tindak pelecehan di kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga negara. Saya bermimpi tentang kantor pemerintahan yang bersih dari segala bentuk  pelecehan kemanusian.
Saya menunjuk Kementerian PAN, bukan Komnas HAM. Â Sebab Komnas HAM rupanya hanya sudi menangani satu persoalan hak asasi manusia rakyat kecil apabila sudah viral secara nasional bahkan global.
Ah, tapi ada hikmahnya juga: Â Viral adalah senjata Si Lemah! (eFTe)
*Untuk menghindari  artikel vulgar, saya tak membabar pengakuan MS  tentang rincian pelecehan seksual yang telah dialaminya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H