Sebuah kenangan, pasti dari masa lampau. Dulu, sudah lama sekali. "Makalahmu sumir, dangkal," kata dosen pembimbingku. "Uraianmu kaya kata tapi miskin data," lanjutnya. Â Itulah ukuran dangkalnya.
Apakah saya sakit hati karena makalah dinilai dangkal? Tidaklah. Justru merasa dungu. Dalam bahasa preman, dosen itu sedang bilang, "Kau bicara lebih bayak dari yang kau tahu". Kata pasarannya, "Omong kosong!"
Itu evaluasi. Tak ada cara terbaik menghadapinya kecuali memperbaiki diri. Caranya. Membaca lebih banyak lagi. Menggali data lebih dalam lagi. Hingga di kepala terbentuk waduk data dan informasi. Setelah waduk itu penuh, barulah mulai menulis lagi.
Begitulah. Waduk kering takkan mengairi apapun, bahkan tidak dirinya sendiri.
Bertahun-tahun kemudian, setelah momen teguran dari dosen itu, saya membaca essay filsuf Isaiah Berlin, The Hedgehog and the Fox (1953). Itu essai kritik untuk sastrawan Leo Tolstoy yang merujuk pada selarik puisi Archilochus (680-645 BC), penyair dari masa Yunani Kuno. "Seekor rubah tahu banyak hal, tapi seekor landak tahu satu hal besar."
Secara tipologis, kata Berlin, penulis juga bisa dibedakan menjadi tipe rubah dan tipe landak. Banyak tafsir atas tipologi itu. Salah satunya, yang saya pahami, "rubah itu generalis sedangkan landak itu spesialis".Â
Secara diametral, generalis itu diartikan tahu banyak hal tapi di permukaan saja alias dangkal. Sedangkan spesialis itu tahu satu hal tapi sangat mendalam.Â
Pengartian yang terkesan pejoratif, memang. Tapi saya pikir ada benarnya, setidaknya cenderung benar. Sekurangnya untuk diriku sendiri.
Begitulah. Pengetahuan umum memang cenderung dangkal, sedangkan pengetahuan khusus cenderung mendalam.
Setelah tujuh tahun menulis di Kompasiana (2014-2021), Â saya mengambil jeda sejenak untuk melihat ke belakang. Â Pertanyaan besarnya: Apakah saya seorang Kompasianer Rubah, atau seorang Kompasianer Landak?
Saya menelusur  ke belakang artikel-artikel yang telah kutulis di Kompasiana. Saya kaget sendiri. Jujur.  Sembilanpuluh persen dari artikel itu tergolong tulisan yang keluar dari kepala "seekor rubah".  Termasuk artikel ini. Dangkal, untuk tak mengatakan, "Sampah!"
Kalau sembilanpuluh persen artikel yang saya dedahkan ke benak pembaca adalah sampah, lalu apa justifikasi bagi saya untuk tetap bertahan menulis di Kompasiana?
Itu pertanyaan yang mendadak muncul di ujung tulisan ini. Terus terang, saya belum bisa menjawabnya sekarang tanpa risiko harus berbohong. Maaf, saya hanya seorang petani, bukan seorang politisi. (eFTe)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H