1/
Tadi siang langit biru, bulan putih. Malam ini bulan biru, langit hitam. Dalam ingatku, itu sebiru matamu, sehitam rambutmu.
Aku melewatkan jingga senja. Penuh nestapa. Bintang-bintang berkelana. Seperti hadirmu, menerangiku dan pergi begitu saja.
2/
Pada sajian segelas kopi, Â rasa manis acapkali mengalah teredam rasa pahit.
Senja masih menyisakan senyuman manis. Hingga, kau biarkan aku tenggelam dalam rasa sakit.
Kau tahu? Rasa sakit terpendam bukan sekadar ungkapan rasa terabai. Lihatlah. Tatkala rembulan menyingkap tirai malam yang dingin. Akupun mendekap sunyi, senyum bengis.
3/
Lalu kutemukan diri mendulang cinta dalam sekepal rasa dari manisnya rindu, matang terbakar renjana yang kau sisihkan kala senja yang tinggal secuil itu.
Ah, lupakankah rasa rindu, bila jarak hanya sebagai pengganggu. Hujan, panas, hanya peralihan waktu. Masih perlukah kata ragu.
4/
Kesetiaan dan cinta, dambaan setiap insan.
Begitupun aku, takkan menolak bila mereka menghampiri.
Takkan menyerah pula, bila harus berjuang walau kini berujung pilu.
Kini dalam gelapnya hidup, seakan kulihat terangnya cintamu.
Dalam bekunya hati, Â seakan kurasa hangatnya pelukanmu
Dalam sakitnya rindu, seakan kudengar engkau berkata, aku di sini setia bersamamu.(*)
Antarkota Antarpulau, Secangkir Kopi Bersama, 22 Agustus 2021
*)Puisi ini adalah hasil kolaborasi spontan antara delapan orang Kompasianer lewat percakapan anarkis dalam sebuah grup perpesanan tadi malam (21/08/2021). Berturut-turut dari bait satu sampai delapan, penganggitnya adalah: Felix Tani, Indra Rahadian, Zaldy Chan, Heni Pristiwaningsih, Ayu Diahastuti, Ayah Tuah, Siti Nazarotin, dan Katedrarajawen.
Urutan bait sesuai dengan aslinya. Felix Tani hanya melakukan penyelarasan dan sedikit suntingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H