Tidak ada satu etnis pun di Indonesia yang lebih tinggi atau lebih penting dari yang lain. Semua etnis setara sebagai unsur pembentuk Indonesia --sebuah negara bangsa yang hanya bisa "dibayangkan" (imagined community, Ben Anderson).
Tapi itu fungsi manifes, tampak dan langsung, dari risakan itu. Fungsi latennya, terselubung dan taklangsung, sesungguhnya lebih parah. Karena ia mendegradasi solidaritas sosial lintas etnis, unsur perekat bangsa sebagai sebuah kesatuan.
Ada dua fungsi laten yang tertafsirkan dari dua ujaran perisakan itu. Pertama, pengabaian atas eksistensi etnis lain. Memandang Baduy hanya semata "penjual madu di perempatan" sama dengan pengabaian atas fakta Baduy memilih dan memiliki jalan kemakmuran sendiri.
Itulah  jalan kemakmuran berbasis adat asli yang setara dengan jalan modernisasi. Jalan yang kini dihargai dunia sebagai koreksi terhadap watak negatif modernisasi, disamping watak positifnya.
Kedua, penyangkalan atas eksistensi etnis lain. Mengatakan Jokowi kurang bijak karena mengenakan busana adat Baduy yang terbelakang, berarti menganggap etnis Baduy bukan bagian dari bangsa Indonesia. Menganggap etnis itu tak pantas tampil merepresentasikan bangsa Indonesia yang besar.
Harkat, hak, dan kewajiban setiap etnis adalah setara. Sehingga, sejatinya, budaya setiap etnis sama pantas merepresentasikan kekuatan modal sosial-budaya berupa kemajemukan bangsa Indonesia.
Bagaimanapun, gejala perisakan yang bersifat etnosentris, seperti dua ujar risakan yang dibahas, adalah bahaya laten terhadap solidaritas lintas-etnis. Karena itu, ia juga menjadi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk ini.Â
Tapi ada satu cara untuk mereduksinya. Berhentilah menilai, apalagi menghakimi, etnis lain menggunakan ukuran-ukuran etnismu sendiri. Berhenti menggunakan pandangan etnosentris. Berhenti percaya pada stereotip sosial.(eFTe)
Â
Â
Â