Pada kalimat risakan pertama ada frasa "bawa madu plus jongkok di perempatan." Ini stereotipe sosial terbelakang untuk orang Baduy, umumnya Baduy Luar.  Berpakaian adat harian, tanpa alas kaki, mereka memang kerap datang jalan kaki dari kampungnya di Banten ke kota kabupaten, propinsi atau  DKI Jakarta.  Lalu menawarkan madu kepada orang lewat di perempatan atau tepi jalan.
Stereotip Baduy terbelakang itu eksplisit pada kalimat risakan kedua. Â Ada frasa "performance bagian dari suku yang relatif terbelakang". Â Performance yang dimaksud adalah pakaian adat harian; suku yang dimaksud adalah Baduy; relatif terbelakang maksudnya taraf kehidupan sosial-ekonominya lebih rendah dibanding dengan suku lain yang dianggap lebih maju, semisal Jawa dan Bali.
Stereotipe Baduy terbelakang itu bentuk  sesat pikir yang didedahkan teori modernisasi ke dalam benak pemerintah dan masyarakat Indonesia umumnya.  Bagi teori modernisasi, teori pembangunan yang berlaku di Indonesia, tradisional itu identik dengan keterbelakangan. Â
Maka muncullah istilah-istilah masyarakat terbelakang, tertinggal, ataupun terasing. Dengan entengnya label-label itu dikenakan pada orang Baduy, Suku Naga, Orang Rimba, Sakai, sejumlah sub-etnis Dayak di pedalaman, dan sejumlah etnis atau sub-etnis di Papua. Itu adalah penilaian sepihak dari "orang luar" yang bias-modernisasi.
Faktanya tidaklah demikian. Â Orang Baduy, khususnya Baduy Dalam, adalah gejala perlawanan terhadap modernisasi. Â Mereka melestarikan diri sebagai "komunitas adat selaras alam" atas pilihan sendiri. Â
Bukan karena dijauhkan atau jauh dari program pembangunan berpaham modernisasi. Â Mereka menolak modernisasi karena menilai hal itu akan menjauhkan mereka dari keserasian dalam lingkungan sosial dan keserasian dengan lingkungan alam.
Dengan menolak modernisasi, orang Baduy membendung masuknya keserakahan (kapitalisme), konflik sosial (perebutan sumberdaya), dan kerusakan lingkungan (eksploitasi berlebih berbasis teknologi modern) ke dalam komunitas mereka. Mereka tetap berpegang pada nilai dan norma adat tradisional. Itulah strategi Baduy untuk memelihara keserasian sosial dan alam.
Sebagai contoh, sistem pertanian huma masyarakat Baduy kini merupakan ikon pertanian alami (natural farming). Â Sebuah pola pertanian bebas bahan kimia dan bebas mesin yang sepenuhnya mendasarkan diri pada hikmah komunikasi "manusia" (petani) dengan "alam" (tanah, air, udara, hewan dan tumbuhan).
Etnosentrisme: Â menghina Jokowi melalui penghinaan terhadap Baduy
Dua risakan di atas telah memperalat etnis Baduy untuk menghina Jokowi, presiden bagi perisak. Â Risakan pertama menghina Jokowi "terbelakang" seperti orang Baduy "pengasong madu di perempatan".
Sedangkan risakan kedua menghina Jokowi "kurang bijak". Karena dia mempertunjukkan budaya busana etnis terbelakang. Itu katanya tak  mencerminkan Indonesia sebagai negara besar yang berpotensi jadi negara maju.
Kedua risakan tadi menegasikan pesan inti tindakan Jokowi mengenakan pakaian adat Baduy. Â Dengan tindakannya Jokowi sedang mengatakan semua etnis di Indonesia setara harkat, hak, dan kewajibannya.Â