Untuk itu saya terpaksa harus merujuk pada tiga artikel lama di Kompasiana. Mungkin bisa mengungkap soal "sampah" dan "dangkal" itu.
Pertama, artikel "Tak Ada Sampah di Kompasiana", tayang 2015. [4] Artikel itu saya tulis menanggapi panasnya konflik tentang mutu artikel di Kompasiana waktu itu. Konflik yang sekarang, Â maaf, tidak ada apa-apanya.
Pesan inti artikel itu, tak ada artikel sampah di Kompasiana. Menggunakan perspektif empati, setiap artikel mesti dihargai sebagai karya terbaik, sesuai tingkatan kreativitas penulisnya saat itu.
Konsep "estetika eksistensi" yang disajikan rekan Gregorius Nyaming dalam artikel terbarunya, bisa menjelaskan soal itu dengan sangat baik. Bacalah! [5]
Kedua, artikel  "Saya Bangga Menulis Artikel Picisan", tayang 2016. [6] Artikel itu saya tulis untuk mendorong setiap orang agar jangan pernah ragu menulis di Kompasiana.  Sebab setiap orang adalah penulis.Â
(Anggapan terakhir ini saya ungkap dalam seri artikel yang memperkenalkan Mashab Kenthirisme. Silahkan dicari, bila sudi.)
Dalam artikel itu saya membuat tipologi artikel di Kompasiana berdasar apresiasi pembaca dan Admin Kompasiana. Hasilnya diperoleh empat tipe artikel berikut. Â
Tipe Pertama: Apresiasi Pembaca Tinggi, Apresiasi Admin Tinggi. Ini tipe artikel "menarik dan berbobot", Â idaman setiap penulis.
Tipe Kedua: Apresiasi Pembaca Tinggi, Apresiasi Admin Rendah. Ini tipe artikel "menarik tapi tak berbobot" alias "artikel picisan". Dibilang "sampah" juga silahkan saja.
Tipe Ketiga: Apresiasi Pembaca Rendah, Apresiasi Admin Tinggi. Ini tipe artikel "tak menarik tapi berbobot". Biasanya judul dan topiknya tak menarik. Â Isinya susah pula dicerna.Â
Tipe Keempat: Apresiasi Pembaca Rendah, Apresiasi Admin Rendah. Ini tipe artikel "tak menarik dan tak berbobot", mungkin belum layak digolongkan artikel. Barangkali masih terbilang  pra-artikel yang sangat memerlukan penyempurnaan sana-sini, tapi sudah keburu tayang. Jadilah artikel "dangkal".