Dari empat tipe itu, tergolong manakah artikel-artikel Felix Tani? Saya tak malu mengakui sebagian besar artikelku di Kompasiana  tergolong picisan.
Dan saya bangga menjadi penulis artikel picisan terdepan di Kompasiana. Dulu begitu, sekarang juga tetap begitu.Â
Tak perduli tulisanku dibilang sampah, atau bahkan saya dicap penulis sampah. Aneh juga. Sudah tahu tulisanku sampah dari penulis sampah, kok, ya masih sempat-sempatnya baca.
Ketiga, artikel "Jangan Ajari Aku Menulis", tayang tahun 2019. [7] Artikel ini menegaskan, seperti saya bilang di atas, bahwa setiap orang adalah penulis.
Sebagai individu berdaulat, maka setiap orang adalah penulis yang khas. Karyanya mesti dihargai pada nilai khasnya itu. Â Karena itu, saya menolak pembakuan metode tekstualisasi.
Penolakan pada pembakuan itu yang saya sebut anarki atau, kemudian, saya namai "kenthirisme". Â Sebuah pendekatan penulisan yang mengedepankan intuisi dan serendipitas (temuan takterduga).
Itu saja yang ingin saya sampaikan. Mudah-mudahan bisa menjeladkan posisi saya sebagau penulis humor kritik.
Terakhir, saat membaca artikel, saya berpedoman pada prinsip "kepala kosong pikiran terbuka". Dengan itu saya bisa belajar tanpa baper dari satu tulisan, apa pun isi dan mutunya, siapa pun penulisnya.
Tulisan adalah ekspresi kemerdekaan pikiran. Karena itu, Dirgahayu RI. Â Tidak ada yang lupa hari ini 17 Agustus 2021, bukan?
Oh, ya, hampir lupa. Artikel ini tetap humor kritik. Sekurangnya untuk Felix Tani. Â (eFTe)
Rujukan: