Masuklah ke dalam satu tulisan dengan kepala kosong tapi pikiran terbuka. Maka kecaplah betapa sedapnya tulisan itu. -Felix TaniÂ
Konflik pemikiran itu indah. Dengan perantaraannya kita menjadi lebih cerdas. Asalkan dalam proses konflik itu kita bebas dari argumen sesat (logical fallacy).
Saya melihat konflik pemikiran antar Kompasianer dengan anggapan di atas. Termasuk perdebatan hangat soal mutu artikel di Kompasiana akhir-akhir ini. Itu sesuatu yang indah.
Karena itu, jika ada yang menyerang pemikiranku, maka saya sambut dengan senang hati. Sikap itu berlaku pula untuk artikel rekan Adrian Chandra Faradhipta, misalnya. [1] Artikel itu, walau tak eksplisit, merespon antara lain artikel saya sebelumnya.[2] Â
"Sampah" dan "dangkal". Dua kata itu yang bikin emosi mendidih. Terbaca sejak artikel Steven Chaniago [3] sampai artikel Adrian.Â
Agaknya ada Kompasianer yang merasa dirinya diserang. Hal itu benar untuk Steven yang dikatai  "penulis sampah." Tapi tidak untuk rekan Adrian.
Mungkin Adrian "tersinggung" karena ilustrasi artikel saya meng-endorse artikelnya yang kebetulan HL Â di Kompasiana. Kebetulan saya bicara tentang artikel politrik (aneka trik, tip, cara, tutorial) yang cenderung reproduktif dan repetitif, bahkan ada yang dangkal. Pertanyaan: mengapa Adrian tak berpikir sebaliknya tentang artikelnya?
Apakah saya telah merendahkan artikel politik, manganime , dan politrik di Kompasiana? Juga merendahkan penulisnya? Tolong tulisanku dibaca-ulang baik-baik. Tunjukkan satu saja kalimat yang merendahkan.
Seingatku, semua artikel humor kritik yang kutulis tak mengandung argumentum ad hominem. Saya sangat ketat dengan satu  hal itu. Kalau ada, tolong tunjukkan, untuk koreksi diri. Tapi kalau tidak ada, mengapa ada rekan yang merasa direndahkan atau dihina?
Saya tak hendak bicara panjang-lebar di sini. Kuatir rekan-rekan Kompasianer jadi mual dan muak. Saya hanya ingin menegaskan posisi saat sedang menulis kritik terhadap  artikel-artikel di Kompasiana.