"Poltak, betul kau jadi dukun sakti?"Â
Pertanyaan Berta itu membuat Poltak pusing tujuh keliling. Hendak dijawab apa? Â Dia tak paham apa yang telah terjadi sesungguhnya.
"Iyalah, Berta. Dia bisa menyuruh terbang seikat kayu bakar." Binsar meyakinkan Berta.Â
"Menerbangkan kayu bakar?" Jonder dan Alogo bertanya berbarengan.
"Kalau dia mau, kalian berdua juga bisa diterbangkan ke jurang sana." Bistok menegaskan, sambil menunjuk ke arah lembah di sebelah tinur SD Hutabolon.
"Hei, kalian! Jangan markombur saja! Punguti  sampah! Cabuti salohot!"Â
Guru Paruhum mengingatkan Poltak dan kawan-kawannya, agar tak sibuk markombur, mengobrol, saja. Pagi itu murid kelas empat sedang giliran kerja bakti membersihkan pekarangan sekolah.
"Ah, Binsar dan Bistok, kurang ajar kalian," umpat Poktak dalan hati.
Binsar dan Bistoklah yang menebar isu tentang kedukunan Poltak kepada murid-murid kelas empat. Tapi pangkal isu itu bukan mereka. Melainkan Ama Ringkot.
Sore itu, Ama Ringkot sedang bergegas pulang ke rumah dari sawah di selatan kampung. Tak sengaja, saat menyusuri jalan setapak ke arah kampung, di sebelah barat terlihat olehnya Poltak sedang berjalan sendirian di jalan raya. Hal yang membuatnya bergidik, tepat di depan Poltak, dia melihat seikat kayu bakar, ranting kering pinus,  terbang  melayang.
Mulut Ama Ringkot adalah mulut ember. Apa yang baru sja dilihatnya, langsung tumpah luber ke telinga warga kampung  Panatapan. Ditambah bumbu penyeram bahwa kaki Poltak tak menyentuh aspal saat berjalan di jalan raya. Bukan Ama Ringkot kalau kisahnya tak lebih banyak dari tahunya.Â
Begitulah, bersamaan matahari terbenam di ufuk barat, semua warga Panatapan sudah mendapat berita absurd. Â Katanya, Poltak mendadak jadi dukun sakti setelah sempat sempat disekap homang, Â hantu penyekap manusia, di tengah hutan pinus. Entah siapa yang telah menambahkan frasa "disekap homang" itu.Â
Tidak, tidak semua warga Panatapan percaya pada kabar kedukunan Poltak itu. Nenek Poltak tahu bukan seperti itu  yang terjadi. Sebab dialah orang di belakang kejadian itu.Â
Setelah mendengar tuturan Dumaria tentang hilangnya Poltak, nenek Poltak langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Dia mengambil satu cawan keramik putih dari rak piring, lalu menuang air bening ke dalamnya hingga terisi setengahnya. Kemudian diambilnya sebuah jeruk purut, dibekah dua melintang, dan diambangkan di air dalam cawan.
Setelah komat-kamit membaca doa mohon petunjuk dari Mulajadi Na Bolon, nenek Poltak bisa melihat di mana posisi Poltak, cucunya, di dalam hutan pinus. Dia juga bisa melihat ada sosok roh yang menyekap Poltak. Pasti karena dia telah bertindak kurang ajar.Â
Karena kebelet, Poltak memang sembarang kencing, memancuri satu pohon pinus, tanpa minta ijin lebih dulu.
Roh diatasi dengan roh. Nenek Poltak bersemedi, minta tolong kepada roh suaminya, kakek Poltak, agar menolong Poltak cucu mereka yang sedang disekap sesosok roh di dalam hutan pinus.
Terjadilah sesuai permohonan nenek Poltak. Poltak diselamatkan oleh roh kakeknya yang datang dalam rupa neneknya. Hanya Poltak yang bisa melihatnya, tidak orang lain.
"Auh! Inong!" jerit anak perempuan mengaduh kesakitan terdengar dari pekarangan belakang sekolah.
Poltak, Binsar, dan Alogo, yang berada di pekarangan depan, segera memburu ke belakang, mencari tahu apa yang telah terjadi.
"Jari-jari Si Berta, Gurunami. Kena api." kata Tiur menjelaskan apa yang telah terjadi kepada Guru Paruhum.
"Tiur! Â Minta pasta gigi ke rumah Guru Marihot!" perintah Guru Paruhum sambil memeriksa jemari tangan kanan Berta. Tiur langsung berlari menuju rumah Guru Marihot.
Tampak ujung telunjuk, jari tengah, dan jari manus memerah lepuhakibat selomotan api. Berta dan jawan-kawannya sedang membakar sampah di pekarangan belakang sekolah. Karena gegabah saat menuang tambah minyak tanah, jemari tangan kanan Berta tersambar nyala api yang mendadak kobar.
"Santabi, Gurunami. Untuk apa pasta gigi?" Poltak bertanya heran.
"Untuk dioleskan di jari Berta yang melepuh. Agar tak melentung, Poltak!"
Entah dari mana Guru Paruhum mendapatkan resep aneh itu. Bagi Poltak, pasta gigi  itu gunanya untuk gosok gigi. Bukan obat untuk kulit lepuh tersulut api.
"Pakai air putih saja, Gurunami. Jangan pakai pasta gigi."
"Bah! Poltak! Sudah rintik kau rupanya. Kalau kena air, gembunglah itu lepuh di jari-jari Berta!"Â
Guru Paruhum mulai naik darah. Poltak dikatainya rintik, kentir, ada sinting-sintingnya.
"Tidak, Gurunami. Tidak gembung. Pasti sembuh. Ini cara rahasia dari ompungboruku. Aku, kalau lepuh diselomot api, diobati dengan cara itu."Â
Poltak berkeras. Â Ini bukan lagi soal keyakinan semata. Tapi juga sudah menyangkut reputasi neneknya.
"Ini pasta giginya, Gurunami." Terengah-engah, Tiur menyerahkan pasta gigi kepada Guru Paruhum.
"Berta, sini jari-jarimu Pak Guru obati." Guru Paruhum memencet tube pasta dengan tangan kiri. Dipeletkannya sedikit pasta itu di ujung telunjuk kanan.
Berta terlihat ragu. Dia tak mengangsurkan jarinya kepadaGuru Paruhum.
"Ei, Berta, sini jarimu!" desak Guru Paruhum.
"Ah, santabi, Gurunami. Aku mau diobati Poltak saja," tolak Berta dengan nada suara rendah.
Guru Paruhum melotot pada Berta, lalu pada
Poltak, kembali pada Berta lagi, lalu balik pada Poltak.Â
Berta melihat pada Poltak. Menakar kemampuan dan kejujuran anak itu. "Kalau Poltak mampu menerbangkan seikat kayu bakar, tentu dia bisa mengobati lepuh bakar di jariku," pikirnya.
"Ya, sudah, kalau begitu. Tiur, ambil segelas air putih di meja Pak Guru. Cepat." Guru Paruhum menyerah. Tiur berkelebat lagi, meninggalkan kesiur angin.
Kurang-lebih semenit  kemudian, segelas air putih sudah di tangan Poltak. Kecepatan Tiur luar biasa. "Anak ini tahun depan bisa ikut lomba lari Agustusan," pikir Guru Paruhum yang baru menyadari potensi Tiur.
Poltak mendoakan air putih itu dalam hati. Didekatkannya bibir gelas ke bibirnya. Lalu mulutnya komat-kamit mendaraskan tabas, doa kepada Mulajadi Na Bolon, dengan perantaraan Boru Saniangnaga, dewi air Batak, agar sudi menjadikan air putih itu menjadi penyembuh lepuh bakar. Tabas dikunci denfan tiga kali tiupan nafas pada air di dalam gelas.
Tabas itu telah diajarkan neneknya padanya. "Air dan udara adalah sumber hidup. Darinya kesembuhan bermula," kata nenek Poltak saat mengajarkan tabas itu.Â
"Ingat, tabas nenek ajarkan hanya kepadamu. Kau hanya boleh nengajarkannya kepada salah seorang anakmu, atau cucumu, kelak," pesan neneknya. Ikatan darah membentk simpul kepercayaan.
Guru Paruhum dan murid-muridnya diam melobgo menyaksikan Poltak martabas. Tak ada suara. Tak ada yang berani mengusik dukun cilik dari Panatapan itu. Takut kualat.
"Berta, celup-celupkan jari tanganmu ke dalam air putih ini. Lakukan sampai rasa panas dan perihnya hilang."Â
Berta menerima segelar air penawar lepuh bakar itu dari Poltak dan segera mencelupkan jemari ke dalamnya. Guru Paruhum dan murid-murid lainnya tahan nafas menunggu reaksi Berta. Â
"Aah, dingin. Enak. Rasa panas dan perihnya hilang. Mauliate, Poltak," kata Berta sambil tersenyum. Rona wajahnya kini menyiratkan rasa nyaman. Tak ada lagi ekspresi cemas dan kesakitan.
Guru Paruhum dan murid-murid lainya melepas nafas lega. Wajah-wajah mereka berhias senyum lagi. Celoteh iseng dan riang terdengar lagi. Guru Paruhum menganguk sambil tersenyum kepada Poltak, sebuah pujian.
Ketika lonceng bubar sekolah usai berdentang, saat murid-murid telah berlarian ke luar kelas, Guru Paruhum menghampiri Poltak.
"Poltak, bisakah kau ajarkan tabas penawar lepuh bakar itu kepada Pak Guru?" (Bersambung)
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H