Tjoeroep, atau Curup. Â Saya harus menjelaskan itu dulu. Curup itu sebuah kota kecil di Provinsi Bengkulu. Tepatnya ibukota Kabupaten Rejang Lebong. Dulu, pada masa pemerintahan darurat, sempat menjadi ibukota Sumatera Selatan.
Kota ini tergolong kota bhinneka tunggal ika. Warganya berasal dari ragam etnis. Â Mulai dari etnis lokal Rejang sampai Lembak, Serawai, Minang, Sunda, dan Jawa.
Salah seorang warga Curup dikenal dengan nama Zaldy Chan. He is The Man from Tjoeroep! Namun penelusuran data warga di  Kantor Disdukcapil dan KUA tak menemukan nama seperti itu.  Ada juga Rizaldy Chaniago.
Tapi, ya, sudahlah. Â Anggap saja namanya memang Zaldy Chan. Â Dan tak usah pula terlalu percaya itu nama sebenarnya. Â Sebab kemarin dia memperkenalkan diri sebagai Bang Jack. Besok mungkin Datuak Maringgih. Â Lusa, Samsoel Bachri. Â Ah, tidak, nama terakhir ini kecakepan.
Zaldy mengaku seorang Kompasianer. Tentang hal ini tak ada yang bisa dibantah.  Memang ada akunnya.  Banyak tulisannya.  Dari novel, cerpen, puisi, sampai essai humaniora.  Tapi tak ada humor; tak pernah usai sebab selalu tertawa guling-guling  pada tiap ketikan huruf. Dia menolak mati ketawa.
Diksi dan gaya bahasanya memikat. Â Mungkin itu pengaruh alam Curup yang menawan. Berada di punggung Bukit Barisan, kota ini dikelilingi Bukit Kaba dan Bukit Daun yang indah. Â Lembah dan lerengnya hijau oleh padi sawah, kebun sayuran, dan kebun kopi.Â
Membaca tulisan-tulisan Zaldy, kecuali humor yang gak pernah ada, membuat kita menjadi lebih beradab. Â Tulisan-tulisannya menebar aura sejuk, sesejuk udara pegunungan yang memeluk Curup. Â Membuai kita, sehingga kita lupa sejenak, bahwa Zaldy sebenarnya lelaki bercambang yang terobsesi menjadi Elpis Presli.
Bisalah dibayangkan, Zaldy menganggit tulisan-tulisannya di tempat-tempat indah di pedalaman. Semisal di Air Panas Suban, Pematang Danau, Gunung Kaba, Air Terjun Kepala Curup, dan di tengah hutan sambil membelai dan menciumi Rafflesia arnoldii. Â
Tapi, kalau kumat mbelingnya, bisa juga dia menulis di tengah Pasar Bang Mego atau Pasar Serbo Ade. Hal itu dilakukannya saat lapar, sebab dia bisa kenyang angin hanya dengan mencium aroma rendang, Â dendeng batokok, cincang, dan gajebo. Â
Dari isi tulisannya, bisa ditebak, Zaldy itu seorang humanis sejati. Â Tepatnya dia seseorang yang adat, kelakuan, dan tutur-katanya manis. Â Gemar duduk manis mendengar ujaran lawan bicara. Â
Tapi Zaldy sebenarnya, literally, Â tak pernah mendengar lawan bicara. Terbukti, tanggapannya absolutely gak pernah nyambung. Which is lawan bicara ngomong ular, tapi dia bicara belut.