Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #057] Kalian Bukan Keledai

15 Juni 2021   17:40 Diperbarui: 16 Juni 2021   06:27 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Guru Marihot meradang dalam pengajaran Ilmu Bumi.. Lantaran, menurut dia, murid kelas tiga telah menggunakan cara dungu menghapal hasil bumi utama dari suatu daerah.  

"Kalian semua bukan keledai! Kenapa pakai jembatan keledai!" amuknya kepada murid-muridnya. 

"Siapa yang mengajarkan cara dungu itu kepada kalian!"  

Sorot mata Guru Marihot menusuk bola mata setiap murid. Semua murid langsung menunduk. Dilarang menatap mata guru. Itu menantang.

"Pol-Poltak, Gu-Gurunami."  Polmer menjawab terbata.  

Poltak melirik tajam ke arah Polmer.  "Dasar pengadu kau," katanya dalam hati, dongkol. Tapi dilihatnya dua ujung ingus mulai muncul di dua lubang hidung Polmer. Luluhlah rasa dongkolnya.

Amarah Guru Marihot meletup gara-gara Polmer salah jawab pertanyaan.  

"Babi, Gurunami!" jawab Polmer tangkas ketika  Guru Marihot menanyakan hasil bumi utama dari Tapanuli Utara.

"Babi?  Itu pelajaran dari mana!"

"Pelat kendaraan Tapanuli BB, Gurunami. Kepanjangannya, Banyak Babi."

"Matilah kita, Polmer!" teriak Poltak dalam hati. "BB itu Banyak Beras. Kenapa pula kau bilang babi," lanjutnya, masih dalam hati.

Dua pertanyaan sebelumnya sudah terjawab dengan tepat.  Hasil bumi dari Kabupaten Deliserdang, "Karet, Gurunami!" jawab Alogo.  Pelat kendaraan Deliserdang adalah BK.  Kepanjangannya, Banyak Karet.  

Hasil bumi utama dari Riau, "Minyak, Gurunami!" jawab Marolop.  Pelat kendaraan daerah Riau adalah BM.  Kepanjangannya, Banyak Minyak.

"Poltak! Jangan pula kau ajari teman-temanmu jadi keledai.  Keledai itu dungu.  Dia perlu jembatan untuk menyeberangi selokan.  Padahal dia bisa melompat."

"Olo, Gurunami."  Poltak menjawab pelan, sambil tetap tertunduk.

"Kalau mau tahu hasil bumi suatu daerah, bacalah buku. Jangan baca pelat kendaraan. Itu namanya pakai jembatan keledai. Apakah kalian keledai dungu?"

"Bukan, Gurunami."  Serentak murid-murid menjawab.

"Bagus, kalau begitu. Mustahillah orangtua kalian beranakkan keleda,"  kata Guru Marihot sejurus kemudian. Nada suaranya rendah.  Amarahnya sudah reda.  

"Poltak.  Maju ke depan.  Bawa buku Dalan Na Uli. Cari cerita 'Si Bisuk  Na Oto'.  Baca dengan suara keras."  Iru cara guru Marihot menghukum Poltak. Disuruh membaca suatu cerita.

Dalan Na Uli itu adalah buku pegangan pelajaran Bahasa Batak.  Di SD Hutabolon, Bahasa Batak diajarkan mulai dari kelas tiga sampai kelas enam.

Cerita "Si Bisuk Na Oto", Si Bijak yang Dungu, di dalam buku itu semacam kisah Nasruddin Hoja di Turki.  Atau semacam kisah  Abunawas di Arab dan Si Kabayan di Tanah Pasundan.

Si Bisuk Na Oto dalam cerita di buku Dalan Na Uli itu digambarkan sebagai anak yang pintar-pintar bodoh. Persis seekor keledai.

"Pada suatu hari, Si Bisuk Na Oto disuruh ayahnya membeli korekapi ke warung,"  Poltak mulai membaca cerita.  Murid-murid yang lain menyimak khidmad.

Dikisahkan, ayahnya berpesan kepada Si Bisuk Na Oto agar mencoba dulu korekapi itu sebelum membeli.  Apakah bisa menyala atau tidak. Takutnya, korekapi itu lembab sehingga takbisa menyala.

Setiba di warung, Si Bisuk Na Oto meminta sekotak korekapi kepada pewarung.  Di bukanya kotak korekapi itu lalu dicobanya menyalakan satu anak korekapi. Menyala.  Dicobanya satu lagi. Menyala. Coba satu lagi, lalu satu lagi, dan seterusnya.  

Yakin semua anak korekapi bisa menyala, Si Bisuk Na Oto membayar harga korekapi kepada pewarung lalu pulang ke rumahnya.

"Setiba di rumah Si Bisuk Na Oto memberikan korek api kepada ayahnya sambil berkata, 'Among, ini korek apinya.  Semua bisa menyala. Tadi sudah kucoba nyalakan satu per satu.'  Mendengar itu, ayahnya hanya bisa mengurut dada." Poltak menyelesaikan bacaan.

"Bagus. Kembali ke bangkumu," perintah Guru Marihot.  

"Bistok!  Mengapa Si Bisuk Na Oto dibilang bijak?"

"Karena ... karena dia coba dulu korekapinya, Gurunami." 

"Bagus.  Siapa di antara kalian yang mau menjadi orang bijak."  Semua murid unjuk telunjuk.

"Kau, Tiur. Mengapa Si Bisuk Na Oto dibilang dungu?"

"Karena dia mencoba semua anak korekapinya, Gurunami."

"Tepat sekali. Sekarang,  Pak Guru mau tanya. Siapa di antara kalian yang mau menjadi orang dungu." Semua murid diam menyimpan tangan terlipat di atas meja.  

"Bagus. Berarti  murid Pak Guru tak ada yang mau jadi keledai dungu," tegas Guru Marihot.  

"Lalu, kenapa kalian bersekolah.  Kau, Poltak, jawab!"

"Supaya pintar, Gurunami."

"Ya, itu.  Agar kalian tidak menjadi Si Bisuk Na Oto. Tapi kelak menjadi Si Bisuk Na Pistar.  Bijak dan pintar."  

"Kalau pintar, kelak kalian akan jadi orang sukses. " Guru Marihot memandangi murid-muridnya satu per satu.

"Bistok, cita-citamu mau jadi apa kelak!"

"Jadi guru, Gurunami."

"Bagus, kau calon pengganti Pak Guru. Nah, kau, Poltak?"

"Insiniur kebun, Gurunami."

"Bagus kali itu.  Kau, Alogo?"

"Supir kapal terbang, Gurunami."

"Itu pilot namanya.  Kau, Tiur."

"Aku mau jadi bidan, Gurunami."

"Cita-cita mulia itu, nak. Nah, kau Berta.  Cita-citamu jadi apa?"

"Mau jadi dokter, Gurunami."

"Bah, hebat itu. Kenapa pula kau mau jadi dokter, Berta."

"Agar bisa menolong orang-orang yang sakit, Gurunami.  Kata ayahku pula, kalau mau sehat dan kaya, jadilah dokter."

"Bah.  Ya, ya, ya. Ada betulnya kata-kata ayahmu itu."  Guru Marihot manggut-manggut.  

"Ei, kau, Jonder!  Cita-citamu apa kelak!" Lanjut Guru Marihot bertanya kepada Jonder yang sedang garuk-garuk kepala.  Jonder belum tahu kelak dia mau jadi apa.  

"Ei, Jonder! Jawab!  Cita-citamu apa!"

"Aaa ... aku, aku ... apa, ya.  A-aku mau jadi suami Berta saja, Gurunami."  Jonder bermaksud melucu. Poltak spontan melotot padanya.  

"Bah! Ternyata masih ada seekor keledai sembunyi di sini!"  Guru Marihot langsung meradang lagi. 

Murid-murid yang tadinya hendak tertawa langsung tertunduk kaku lagi.  Urusan keledai tambah panjang. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun