"Sudah! Gantian! Kau yang pegang bajak!" Â Nenek Poltak palak, Â naik pitam, karena Poltak tak mampu mengendalikan arah langkah kerbau dari ujung auga.
Kejadian selanjutnya adalah malapetaka. Â Poltak menancapkan mata bajak terlalu dangkal, sehingga kerbau melangkah terlalu cepat. Gerak bajak kacau tak terkendali. Poltak terjatuh lalu terseret di atas lumpur sawah, menggantikan fungsi bajak.
"Menjadi laki-laki itu berat, amang. Â Kau harus belajar keras. Â Kau harus bisa melakukan semua pekerjaan laki-laki di sawah." Â Nenek Poltak menasihati cucunya itu setiap kali selesai membajak.
"Olo, Ompung." Â Poltak mengiyakan semua nasihat neneknya. Â Walau dia kerap mengeluh dalam hati, "Berat kalilah jadi laki-laki tani." Lalu kadang menghibur diri, "Ah, kelak aku kan jadi insiniur kebun. Â Bukan petani sawah."
Tapi Poltak jadi mengerti ucapan kakeknya, "Suatu saat nanti, Ompung akan mematukmu." Â Kakeknya telah mematuk Poltak di tengah sawah. Patukan yang menyakitkan, tapi mendewasakan.
Sebenarnya, dalam beberapa hari,  kemampuan Poltak mengendalikan auga dan bajak sudah mengalami kemajuan.  Saat dia pegang auga, arah gerak kerbau sudah stabil lurus.  Begitupun saat gantian memegang bajak, arah dan kedalaman mata bajak sudah cukup stabil.  Poltak sudah siap menjadi lelaki petani.Â
Sudah sepuluh hari sejak kakeknya menjali opname di rumah sakit. Â Hari kesebelas, pagi, Â "Poltak. Â Nanti kau minta ijin tidak masuk sekolah besok, ya? Besok kita akan menjenguk ompungmu di Siantar." Neneknya mengingatkan Poltak saat akan berangkat ke sekolah. Â
"Menjenguk ompung? Ke Siantar?" Â Mata Poltak berbinar-binar. (Bersambung)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H