"Biarkan saja, Poltak!" Â Teguran kakeknya menghentikan upaya Poltak menggebah induk ayam betina piaraan mereka.
"Kasihan anak-anaknya, Ompung! Â Dipatuki terus!"
"Biarkan saja. Â Induknya sedang menyapih anaknya. Begitu cara ayam memandirikan anak-anaknya. Agar tak tergantung pada induknya terus." Â Kakek Poltak menjelaskan. "Kau juga, begitu Poltak. Â Suatu saat nanti, Â Ompung akan mematukmu."
"Ompung mematuk aku? Ompungku, kan bukan seekor ayam." Â Poltak membatin. Â Diamatinya wajah kakeknya. Â Siapa tahu ada tanda-tanda akan tumbuh paruh besar di sana.
"Poltak! Â Jangan melamun terus kau. Â Sudah sore. Sana, jemput kerbau kita!" Â Teriakan neneknya menyentak Poltak dari lamunannya. Â Tak sadar dia, neneknya sudah berdiri di hadapannya, di teras rumah.
"Olo, Ompung!" Â Poltak spontan bangkit dari duduknya. Â Lalu beranjak pergi menuju Holbung, tempat kerbau-kerbaunya ditambatkan untuk merumput.
Nenek Poltak mengikuti Poltak dengan tatapan mata sedih. Â "Poltak, cucuku, kau masih terlalu kecil untuk mengambil-alih tugas kakekmu," gumamnya, pelan, kepada diri sendiri.
Bermula dari hari Sabtu, minggu lalu, seusai makan siang dengan lauk ikan mujair arsik. Â Di teras rumah, saat menikmati sebatang rokok lintingan sendiri, mendadak kakek Poltak batuk-batuk. Â
"Ompungni Poltak, aku kenapa ini. Â Batukku berdarah." Â
Kakek Poltak menunjukkan bercak darah di telapak tangan kanannya. Â Nenek Poltak, yang memburu datang ke teras, terkesiap. Â Roman mukanya mendadak berubah, menunjukkan rasa khawatir mendalam.
"Sudah kubilang, kurangi merokok. Â Tapi kau tak mau dengar kata-kataku." Â Nenek Poltak menyesali suaminya. Marah, sedih, cemas, bercampur.