Di lain pihak,  pemotor  harian dalam konteks Jakarta untuk sebagian terbesar  menunjuk pada masyarakat kelas bawah.  Kelas bawah di sini tidak spesifik menunjuk pada golongan miskin (ukuran BPS). Tapi menunjuk pada keseluruhan lapisan sosial di bawah kelas menengah kota.
Lazimnya, para pemotor harian di Jakarta adalah pekerja lapis bawah, formal dan informal. Jelas bukan pejabat pemerintahan atau perusahaan, seperti para pesepeda. Â Jika pun ada pemotor itu pengusaha, maka lazimnya adalah pengusaha skala kecil dan mikro, formal dan informal.
Motor kategori kelas bawah dengan sendirinya adalah simbol status para pemotor sebagai kelas bawah. Terhitung muskil bagi mereka untuk punya sepeda mahal berikut perlengkapan mewahnya seperti milik pesepeda Jakarta.
Pesepeda versus Pemotor, Representasi Konflik KelasÂ
Kelompok pesepeda Jakarta, sebagai kelas menengah, telah terbiasa dengan pengistimewaan (previleges)Â sebagai konsekuensi dari status ataupun kedudukan sosial mereka. Â Tidak hanya di tempat kerjanya, di ruang publik pun mereka ingin tetap menikmati keistimewaan. Â Sebab keistimewaan itu menunjukkan adanya kuasa pada mereka.
Hal semacam itu sebelumnya sudah terjadi pada kelompok pemotor besar, kelas menengah juga, yang selalu menguasai badan jalan jika berkonvoi. Termasuk juga menerobos lampu merah, atau bahkan masuk ke jalan tol.  Ada kalanya hal itu dilakukan  dengan kawalan polisi.  Itu namanya keistimewaan kelas menengah.Â
Begitu pun dengan para pesepada. Secara berkonvoi, mereka  menguasai badan jalan, kerap sampai ke jalur tengah dan kanan.  Itulah pemanggungan eksistensi kelas menengah.  Pemanggungan kuasa.Â
Ada kesadaran kolektif pada mereka, bahwa berkonvoi di jalur khusus kendaraan bermotor adalah sesuatu yang sepantasnya. Pengguna jalan lainnnya, khususnya kelas bawah, menurut mereka harus memaklumi itu.Â
Itulah yang terjadi di jalanan Jakarta kini. Khususnya pada hari Sabtu, Minggu, dan hari-hari libur. Konvoi-konvoi pesepeda melintas di jalan dengan mengambil jalur tengah bahkan kanan.Â
Sementara para pemotor dan pemobil harus menahan diri, bersabar di belakang, menunggu peluang untuk bisa mendahului. Â Bunyi klakson akan mengundang pelototan para pesepeda itu, orang-orang yang mengklaim diri sebagai "pejuang anti-polusi."
Tapi permakluman dan kesabaran yang berlarut-larut akan berubah menjadi kejengkelan, lalu kemarahan, dan akhirnya konflik terbuka di jalanan. Bentuknya mulai dari baku maki verbal sampai baku maki simbolik. Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!