Sore ini saya bercanda dengan teman-teman di grup perpesanan. Karena telat bergabung, saya bikin dalih sedang repot mengejar sapi yang kabur ke gedung DPR.
Sejatinya saya telat gabung karena sedang menulis puisi  "Berjagalah!"  Lalu, saat puisi itu saya agihkan di Kompasiana, seorang teman di grup nyeletuk, "Berjaga karena sapi hilang?"
Temanku itu memang gemar bikin isu baru, semacam penyuka argumen "manusia jerami." Masalahnya di situ, sapiku tak hilang, tapi kabur ke gedung DPR. Â Itu satu-satunya sapi milikku, lalu apa pula yang mesti dijaga. Sapi kabur, dalilnya, ya, kudu dikejar!
Mestinya dia tanya kenapa sapiku lari ke gedung DPR. Itu baru cerdas. Lalu akan kujawab menurut pengakuan langsung sapiku. Kata Si Sapi, "Kudengar di gedung DPR ada dagang sapi. Harga sapi bisa miliaran rupiah di situ."
"Itu bukan dagang sapi macam kamu. Tapi main politik dagang sapi. Itu pekerjaan 'binatang politik', Zoon Politicon. Kamu, kan bukan binatang politik. Tapi binatang sungguhan." Saya menceramahi sapiku.
Saya tahu sapi itu tak akan mengerti kata-kataku. Tapi apa peduliku. Â Sebab sejatinya kata-kataku kutujukan kepada pembaca Kompasiana. Â Adakah di antara pembaca yang tak mengerti perkataanku?
Adapun puisi "Berjagalah!" itu, embrionya, baris pertama, Â telah saya sampaikan di grup perpesanan. "Gelap malam merayap laksana ular hitam melahap siapa lelap."Â
Seorang rekan melanjutkanya, "Bulan tenggelam dalam diam menunggu jerit tanpa peredam. Bayangan itu berkelebat menjauh dari pintu. Menyisakan aku. Dan jempol kaki yang terjepit pintu.
Ngilu."
Semprul! Tamat, sudah! Kalau jempol kaki sudah terjepit pintu, tak bisa kemana-mana lagi. Yang ada hanya, "Ngilu." Â Temanku itu betul-betul seorang pembunuh berdarah dingin, pembunuh puisi.
Tapi puisiku pantang mati sebelum ajal. Hari ini dia terjaga, lantar mengeja kata, maka jadilah puisi pendek "Berjaga." Â
Ndilalah, pengagihan puisi itu di Kompasiana telah menaikkan poinku menjadi 50,020 poin. Maka aku melompati tanggul pembatas, lompat dari pangkat Penjelajah menjadi Fanatik.Â
Pangkat Fanatik ini, terus terang, Â mengantar saya pada posisi tak begitu nyaman karena dua alasan. Pertama, saya tak suka label "Fanatik" karena konotasinya negatif. Dari fanatik ke radikal ke teroris.Â
Karena itu, saya mohon kepada Admin K, tolonglah buang saya ke status Maestro. Kasihan Pak Tjiptadinata sendirian di sana. Dia perlu teman. Pak Tjip, Salam Luna Maya, Lanjut Usia Namun Masih Gaya!
Kedua, saya sedih teringat nasib temanku, Kompasianer Bang (Sya)Fei. Â Pasalnya, Bang Fei itu yang sedang berjuang sungsang-sumbel kadungsang-dungsang menulis dua sampai empat artikel per hari demi meraih status Fanatik. Sampai sekarang jempol kakinya masih terjepit pintu kamar Penjelajah. Ngilu!
Tapi, ya sudahlah, saya sudah keburu dicap Fanatik. Mau apa lagi. Mau apa? Ya, lanjut ke Seniorlah. Masa mundur lagi ke Penjelajah. Solider sama Bang Fei boleh-boleh saja, tapi lebih penting dari itu adalah upaya menyemangati, "Bang Fei, kejar daku kau kutinggal." (efte)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H