Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Permakultur: Taman Nyaman, Dapur pun Aman

30 Mei 2021   23:27 Diperbarui: 1 Juni 2021   10:52 2105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daun singkong sayur baru dipanen (Dokumentasi pribadi)

"Memangnya ada hubungan antara taman dan dapur?" Seorang teman bertanya, dalam suatu diskusi di grup perpesanan khusus pertanian.

"Tidak ada, kalau definisi taman menurutmu adalah hamparan tanaman hias yang tumbuh tertata rapih," kataku. "Taman yang saya maksudkan adalah pekarangan menurut pengertian orang Jawa di pedesaan," lanjutku menjelaskan.

Ya, taman di depan, samping, atau belakang rumah tinggal aslinya dipahami oleh orang Indonesia, khususnya Jawa-Bali, sebagai pekarangan.

Konsep taman awalnya diperkenalkan oleh para pengembang property secara kolaboratif dengan para arsitek pertamanan. Lalu populerlah istilah taman untuk rumah-rumah dan gedung-gedung di perkotaan. 

Semenjak itu pula terjadi pembedaan antara "pekarangan" dan "taman". Pekarangan, lazimnya jembar, untuk rumah desa; taman, lazimnya sempit, untuk rumah kota.

Pekarangan ditanami terutama tanaman buah-buahan, umbi-umbian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan obat-obatan. Sedangkan taman terutama ditanami tanaman hias, bunga-bungaan.

Taman yang hanya dipenuhi tanaman hias tentulah memberi kenyamanan, tapi jelas tak bisa mengamankan dapur. Lain halnya jika ditanami tanaman penghasil makanan dan bumbu, maka taman dapat menjadi katup pengaman bagi dapur.

Saya hendak mengajak pembaca untuk menyulap taman rumah menjadi taman-pekarangan yang nyaman sekaligus pengaman dapur. Tapi sebelum ke situ, saya mau jelaskan sedikit tentang model dasarnya yaitu pekarangan rumah orang Jawa desa.

Pekarangan, Pengaman Dapur Orang Jawa

Bagi orang Jawa di pedesaan, pekarangan itu merupakan katup pengaman dapur dalam dua pengertian.

Pertama, katup pengaman dapur dalam arti sumber pendapatan penting bagi rumah tangga. Masri Singarimbun dan D.H. Penny (1976), dua orang ahli ekonomi pedesaan, mengungkap untuk rumah tangga miskin di Dusun Miri, Desa Sriharjo (pseudonim), Bantul pendapatan pekarangan bisa mencapai dua setengah kali lipat dari pendapatan sawah. Artinya, bagi rumah tangga miskin, mengelola 500 m2 pekarangan sama hasilnya dengan mengusahakan 1,250 m2 sawah.[1]

Riset D.H Penny dan M. Ginting (1984) kemudian menunjukkan rata-rata 49% pendapatan rumah tangga di Miri Sriharjo bersumber dari pekarangan. Untuk rumah tangga miskin angka itu bahkan mencapai 72 persen. Sumbernya usaha gula kelapa (49%), ternak (7%), dan usaha pekarangan lainnya (44%). [2]

Pendapatan dari pekarangan rumah tangga desa di Niri Sriharjo besar karena pengusahaan ragam tanaman dan juga ternak di situ. Tergantung luas pekarangan, warga desa bisa menanam rata-rata 36 batang pohon di pekarangan dengan keragaman rata-rata 12 jenis pohon.

Orang desa Jawa umumnya menanam ragam tanaman keras tahunan di pekarangan. Hasilnya bisa diolah atau dijual langsung ke pasar. Misalnya kelapa, mangga, jambu, melinjo, asam, sawo, kluwih, srikaya, sukun, petai cina, blimbing, dan pace.

Ilustrasi pekarangan rumah di pefesaan Jawa (Foto: xi3ipatrinitas.wordpress.com/belinda solihin)
Ilustrasi pekarangan rumah di pefesaan Jawa (Foto: xi3ipatrinitas.wordpress.com/belinda solihin)
Kedua, katup pengaman dapur dalam arti sumber bahan pangan dan pelengkap pangan untuk dikonsumsi langsung. Ini jenis pendapatan yang langsung habis.

Selain menanam tanaman keras, orang desa Jawa juga mengusahakan ragam tanaman muda di pekarangan. Ada sayur-sayuran seperti bayam, tomat, labu siam, pare, kecipir, dan terung. 

Bumbu-bumbuan seperti jahe, kunyit, lengkuas, pandan, sereh, jeruk purut, jeruk limau, cabai, dan tomat. Umbi-umbian seperti keladi, gadung, ubi kayu, dan ubi rambat. Serta buah-buahan seperti pepaya dan pisang.

Nah, bagi orang desa Jawa pekarangan itu sumber bahan makanan setiap saat, bahkan di saat krisis. Ingin makan getuk, tinggal gali ubi kayu. Perlu buah, ambil pepaya atau pisang, juga sawo. 

Perlu sayur, ada daun singkong, daun pepaya, dan labu siam. Perlu bumbu masak ada kelapa, cabe, laos, jahe, sereh, juga mungkin kemiri. Semua ada di pekarangan, tak perlu beli di pasar.

Bagi orang Jawa di pedesaan, jelas sudah, pekarangan itu katup pengaman dapur. Karena itu usaha pekarangan, sesempit apa pun itu, wajib hukumnya dalam sistem ekonomi rumahtangga.

Permakultur, Menyulap Taman Jadi Pekarangan Alami

Saya hendak mengajak pembaca yang tinggal di kota dan desa-kota menyulap taman menjadi pekarangan alami. Pola pekarangan macam itu di negara-negara maju disebut permakultur, permanent agriculture.

Hakikat pekarangan memang usaha tani menetap. Pertanamannya permanen, tetap dari tahun ke tahun. Tidak seperti sawah yang panennya musiman, panen di pekarangan berlangsung sepanjang tahun. Tanam sekali, panen berkali-kali. 

Model permakultur atau pekarangan alami yang saya praktikkan merujuk pada metode "bertani tanpa-bertani" (do nothing farming) ala Masanobu Fukuoka, Bapak Pertanian Natural Jepang, penemu prinsip-prinsip pertanian natural.[3]

Masanobu Fukuoka, Bapak Pertanian Alami Jepang (Foto: Facebook Masanobu Fukuoka)
Masanobu Fukuoka, Bapak Pertanian Alami Jepang (Foto: Facebook Masanobu Fukuoka)
Masanobu menegakkan empat prinsip dasar pertanian alami. Pertama, jangan mengolah tanah, sebab itu membunuh kehidupan di dalannya. Kedua, jangan membunuh gulma, karena gulma bukan musuh. 

Ketiga, jangan menggunakan pupuk buatan dan organik karena hal itu merusak struktur tanah dan susunan hara. Keempat, jangan menggunakan pestisida dan herbisida karena hal itu akan mencemarkan tanah, air, dan meracuni tanaman. 

Dengan mengikuti empat prinsip itu, pertanian alami menyehatkan kembali tanah. Tanaman juga menjadi sehat, hasilnya pun sehat dan bergizi.

Sebuah riset di Jepang menunjukkan bahwa kadar antioksidan apel dari pertanian alami lebih tinggi dibanding apel dari pertanian modern. Rasanya juga lebih enak karena kandungan gula, asam amino, dan asam organiknya tinggi sedangkan nitrogen nitrat rendah.[4]

Saya akan berikan contoh cara menyulap taman menjadi pekarangan alami atau permakultur rumah kota. Karena ukuran lahan sempit, saya hanya menanam sejenis tanaman keras. Tadinya mangga golek, sekarang diganti jambu air. Mangga golek ditebang karena tajuknya mengacaukan jaringan kabel komunikasi.

Klaster bumbu dapur di pekarangan (Dokumentasi pribadi)
Klaster bumbu dapur di pekarangan (Dokumentasi pribadi)
Karena lahan itu tadinya taman, maka konsepnya menjadi campuran: taman-pekarangan. Campuran tanaman hias dan tanaman bahan makanan pelengkap.

Saya menanam berbagai tanaman bumbu dan sayuran di pekarangan itu. Ada jahe, laos, kunyit, kencur, kunci, pandan, sereh, kemangi, dan jeruk purut. Lalu ada singkong sayur, ubi jalar, dan talas. Semua ditanam tanpa aturan, bergerumbul natural, di bidang sempit pekarangan, di antara bidang tanaman hias.

Daun singkong sayur baru dipanen (Dokumentasi pribadi)
Daun singkong sayur baru dipanen (Dokumentasi pribadi)
Tanaman bumbu dan sayuran itu tumbuh tanpa pupuk, tanpa pestisida, dan tanpa perawatan intensif. Tanah juga tak diolah. Saya percaya tanaman mampu tumbuh sendiri, dan menyuburkan tanah melalui pembusukan daun gugur dan batang tua.

Bibit tanaman itu sebagian besar adalah sisa belanjaan bumbu dan sayur dari pasar. Jahe, laos, kunci, kencur, sereh, dan kunyit tadinya adalah bumbu dapur yang sudah tumbuh tunas. 

Singkong sayur berasal dari limbah batang singkong sayur. Bibit talas didapat dari batang atas talas Bogor. Bibit ubi jalar adalah pangkal umbi yang sudah kadung tumbuh tunas.

Hanya bibit jeruk purut yang saya beli dari seorang pedagang tanaman keliling di Pasar Tebet. Lalu bibit pandan diambil dari pekarangan mertua. Serta, hampir lupa, pisang yang tumbuh sendiri dari kotoran musang.

Sereh sudah dipanen berulang kali (Dokumentasi pribadi)
Sereh sudah dipanen berulang kali (Dokumentasi pribadi)
Semua bibit tanaman itu, kecuali jeruk purut dan pisang, saya tancapkan begitu saja, membentuk klaster alami di pekarangan. Begitulah caraku menerapkan prinsip-prinsip pertanian alami ala Masanobu di pekarangan.

Permakultur atau pekarangan alami itu sudah berfungsi sebagai katup pengaman dapur kami. Di saat-saat butuh, tinggal ambil di pekarangan: kunci untuk sayur bayam, daun kunyit untuk gulai, jahe dan kencur untuk sambal, daun pandan untuk kolak, daun singkong untuk sayur, sereh untuk pepes, dan talas untuk makanan selingan. 

Pohon jambu air (kiri) hasil tanam biji dan pohon pisang (kanan) hasil tanam biji oleh musang (Dokumentasi pribadi)
Pohon jambu air (kiri) hasil tanam biji dan pohon pisang (kanan) hasil tanam biji oleh musang (Dokumentasi pribadi)
Fungsi katup pengaman itu paling terasa saat bumbu dapur mendadak menipis atau habis. Misalnya jahe, laos, kencur, dan kunci. Dalam kondisi krisis seperti itu, saya akan gangsir rumpun-rumpun keluarga gingerale untuk mencomot rimpang secukupnya. 

Taman-Pekarangan, Nyaman-Aman

Karena permakultur yang saya terapkan adalah pola taman-pekatangan, maka keluarga mendapatkan dua manfaat sekaligus. Kenyamanan sebuah taman hijau berbunga dan keamanan dapur berkat sumbangan tanaman bumbu dan sayuran di pekarangan.

Juga, karena menerapkan pertanian alami, maka pekarangan menyumbang pada perbaikan lingkungan khususnya tanah. Setidaknya, pekarangan itu tak menyumbangkan residu pupuk dan pestisida kimiawi yang mencenari tanah dan air.

Tambahan, karena bebas bahan kimia, hasil pekarangan alami itu sehat dan aman bagi tubuh. Sayur dan bumbu alami, hasil pekarangan itu, adalah suatu kebaikan di tengah gempuran bahan pangan pokok dan pelengkap pangan yang diproduksi dengan dukungan pupuk dan pestisida kimiawi.

Taman-pekarangan alami, bagaimanapun juga, adalah sebuah oase yang memberikan kenyamanan bagi penghuni rumah, sekaligus menjamin keamanan kepul dapur. Saya sudah buktikan. Baik sekali jika ada pembaca yang tertarik untuk mencoba di rumah sendiri. (efte)

Rujukan:

[1] Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan, Jakarta: Bhratara Aksara Karya, 1976.

[2] D.H. Penny dan M. Ginting, Pekarangan, Petani dan Kemiskinan, Yogyakarta: UGM Press dan YAE, 1984.

[3] Masanobu Fukuoka, Revolusi Sebatang Jerami, YOI: Jakarta, 1991.

[4] Shuichi Sugiyama dan Nagiko Tosima, "Perbandingan Kandungan Nutrisi Sayuran yang Ditanam secara Alami dan yang Ditanam secara Konvensional," Fakultas Pertanian dan Ilmu Hayati Universitas Hirosaki, 2015 (Diterjemahkan dari Bahasa Jepang oleh Akira Nishimura)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun