Hari Minggu, selepas tengah hari, udara Panatapan cerah. Â Langit biru bersih. Â Matahari menyinari bumi tanpa gangguan awan-gemawan. Â Warga Panatapan beristirahat di rumah masing-masing. Â Hari itu Hari Tuhan, wajib istirahat kerja.
"Ompung, aku mau belajar naik sepeda." Â Poltak memohon kepada kakeknya yang sedang duduk merokok di teras rumah. Â
Poltak merasa dirinya sudah pantas mengendarai sepeda sendiri. Â Sudah kelas tiga. Sudah besar. Malu kalau membonceng kakeknya terus.
Di Kampung Panatapan, hanya kakek Poltak yang punya sepeda. Â Mereknya Raleigh. Â Asli bikinan Nottingham, England. Â Begitu tertulis keren pada emblem yang melekat di pipa stangnya.
Itu sepeda andalan kakek Poltak. Â Kendaraan utama jika pergi ke kedai, ke gereja, ke kampung lain, dan ke pesta-pesta adat. Â Sepeda itu juga digunakan mengangkut gabah dari sawah ke rumah. Â Juga mengangkut gabah ke losung aek, kincir air penumbuk gabah menjadi beras.
Poltak kerap takjub menyaksikan kakeknya naik sepeda. Â Bukan saja karena terlihat gagah. Â Tapi terlebih karena membuat dirinya terheran-heran, "Mengapa sepeda tak roboh. Padahal rodanya hanya dua, depan dan belakang."
"Itu namanya keseimbangan, Poltak. Â Kuncinya, titik berat." Â Guru Marihot memberi penjelasan, ketika Poltak menanyakan perkara itu pada suatu pagi di dalam kelas.
"Coba ambilkan sapu ijuk di pojok ruangan itu." Â Poltak beranjak mengambil sapu. Â Kemudian menyerahkannya kepada Guru Marihot di depan kelas.
"Lihat, anak-anak!" Â Guru Marihot menumpukan ujung tangkai sapu pada ujung telunjuknya, sambil menjaga keseimbangan agar sapu itu tetap berdiri tegak, tidak roboh. "Ini namanya keseimbangan. Tidak berat kiri atau kanan, depan atau belakang. Naik sepeda begitu juga."
"Menyunggi ember berisi air, begitu juga, Gurunami?" Berta minta kepastian.
"Betul. Pintar kau, Berta." Â Sepasang cuping hidungnya kembang.-kempis.Â