Kakek Poltak memandangi cucunya. Agak lama menimbang-nimbang. Akhirnya, "Boleh," katanya, sambil tersenyum. Â
Kakek Poltak menurunkan sepeda dari rumah ke halaman. Â "Pegang," katanya, sambil menyerahkan sepeda kepada Poltak. "Letakkan tapak kaki kirimu di pedal kiri. Â Tangan kiri pegang setang kiri. Â Tangan kanan memeluk pipa rangka atas." Â Kakek Poltak memberi petunjuk.
Kakek Poltak memegang kuat rak boncengan sepeda. Â Lalu perlahan-lahan mendorongnya, sambil menjaga keseimbangan, agar Poltak tidak terbanting. Â Hal itu dilakukan berulang-kali, mondar-mandir di halaman rumah.
Bistok dan Binsar, serta beberapa anak kecil Panatapan, berkumpul di depan rumah kakek Poltak.  Mereka menonton Poltak belajar naik sepeda. Binsar dan Bistok tampak iri pada Poltak.  Tak setiap anak  di Panatapan punya kesempatan belajar naik sepeda.  Pada waktu itu, hanya Poltak seorang.
"Jaga keseimbangan. Â Jangan berat ke kiri, atau ke kanan. Agar tak jatuh," kakek Poltak memberi petunjuk. Â "Sekarang kakek lepas, ya."
"Jangan, Ompung!" Poltak berteriak ketakutan. Â Takut jatuh.Â
"Tidak," kakeknya memastikan. Â Tapi pada bagian halaman yang agak miring, diam-diam kakek Poltak melepaskan pegangannya.
"Pencet remnya!" Â Kakek Poltak berteriak saat melihat Poltak melaju di atas sepeda menuju rerimbunan pohon kopi di halaman samping rumah.
"Ompung!" Poltak menjerit. Â Kras brak. Â Terlambat sudah. Â Poltak sukses menabrak pohon kopi. Â Sepeda tergeletak. Poltak tersungkur. Â Jidatnya beradu keras dengan batang kopi.Â
"Poltak masuk jurang!" Binsar dan Bistok kompak berteriak cemas.
"Amangoi!" Poltak memegangi jidatnya yang mulai  membengkak. Nyut-nyut, sakit.