Karakter elitisme riset di Indonesia tak memberi tempat sebagai subyek kepada masyarakat. Â Dari dulu sampai sekarang masyarakat lebih sebagai obyek riset dalam dua segi. Â Pertama, sebagai sumber data semata dan, kedua, Â sebagai target pasar (konsumen) hasil riset berupa inovasi produk komersil.
Dalam kenyataan, terlalu banyak hasil riset di Indonesia yang tak berdampak langsung pada peningkatan kemaslahan masyarakat. Â Sebagian besar berhenti pada laporan, makalah seminar, dan artikel di jurnal ilmiah. Â Itu bisa melambungkan status lembaga riset dan periset pada tataran "kelas dunia". Â
Sebagian lagi hasil penelitian tiba di tengah masyarakat dalam bentuk produk inovatif komersil. Harus dibeli, semisal pupuk kimia, pestisida, benih unggul, mesin pertanian, dan lain sebagainya. Pada akhirnya yang menangguk laba adalah lembaga riset dan penguasaha.
Sudah sejak lama lembaga riset dan para periset mengklaim diri sebagai Baconian, penganut mashab "sains untuk kemaslahatan masyarakat." Tapi dalam prakteknya kini, justru mundur lebih jauh ke belakang, ke mashab Aristotelian, "sains demi lembaga sains dan saintis." Â Lembaga riset kita kini tetaplah sebagai "menara gading."
Sementara itu terjadi pengingkaran terhadap gejala sosial riset otonom di akar rumput. Â Prinsipnya, "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat." Â Gejala ini luas teramati dalam masyarakat petani, sebagai bentuk perlawanan kepada lembaga-lembaga riset resmi. Â Atau, setidaknya, sebagai manifestasi kataksabaran kepada lembaga riset pertanian pemerintah dan swasta.
Kiprah riset otonom  Joharipin (45), petani asal Desa Jengkok,  Kertasemaya Indramayu, merupakan contoh yang baik.  Kesal menunggu varietas padi tahan salinitas (kegaraman) yang tak kunjung ada, secara otodidak sejak tahun 2004 dia melakukan perakitan varietas sendiri. Â
Dengan mengggunakan metode sendiri, disebutnya Metode Johar, dia melakukan persilangan varietas-varietas lokal dan publik dan telah menghasilkan 10 varietas padi tahan salinitas. Â Karena tidak ada pelepasan dan sertifikasi dari Kementan, benih padi unggul temuannya itu hanya boleh "diperjual-belikan" dalam jaringan organisasi petani. [3]
Komersialisasi benih yang belum dilepas dan disertifikasi oleh Kementan bisa mengantar penemunya ke penjara. Â Hal itu terjadi pada Munirwan, petani Aceh, perakit padi tadah hujan varietas IF8 tahan tikus. Â Karena mengedarkan benih padi IF8 yang belum dilepas, dia dituduh melanggar ketentuan UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Â Petani periset otodidak itu kemudian harus berurusan dengan aparat hukum. [4]
Di pedesaan, banyak petani periset otodidak, dengan metode sendiri yang bersifat anarkis, seperti Jaharipin dan Munirwan. Mereka menemukan banyak varietas benih, pupuk organik dan biotik, pestisida organik dan biotik, metode olah tanah, metode tanam, dan lain sebagainya. Â Temuan-temuan riset otodidak itu bersifat terapan, langsung memenuhi kepentingan atau kebutuhan petani di lapangan.
Masalahnya, temuan-temuan riset otodidak, yang menggunakan "metode sendiri", itu tak mendapat pengakuan dari lembaga-lembaga riset formal, seperti Perguruan Tinggi, Balitbangtan, LIPI, dan BPPT. Â Alasannya, petani periset itu bukan periset formal-profesional dan metode risetnya tidak menggunakan metode baku. Â
"Metode sendiri" yang diterapkan petani dinilai tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara saintifik. Karena itu hasilnya, temuan-temuan petani itu, tak dapat diterima sebagai "kebenaran" dan tidak boleh disebarluaskan kepada masyarakat. Itulah dampak negatif dari elitisme riset di Indonesia. Â Menolak hasil riset anarkis yang sudah telak-telak bermanfaat bagi masyarakat.