Selasa, 6 Januari 1970. Hari kedua tahun ajaran baru di SD Hutabolon. Â Kemarin, Senin, adalah hari pertama. Â Belum ada pelajaran. Â Baru perkenalan guru dan murid, penjelasan umum guru tentang mata pelajaran, dan pemberian tugas untuk murid-murid.
"Anak-anak!" Â Guru Marihot, guru kelas tiga, kelas Poltak dan kawan-kawannya, minta perhatian. Â "Coba angkat bahan-bahan yang kemarin Pak Guru suruh untuh dibawa!" Â
Semua murid laki-laki, tiga belas orang, mengangkat ikatan bilah pagar bambu. Â Sepuluh bilah per murid. Â Panjang per bilah seratus duapuluh lima sentimeter.Â
Sementara murid-murid perempuan, lima orang, mengangkat bibit bebungaan.  Dua jenis bunga per orang.  Ada hatirangga atau  pacar cina,  dahlia, tenimanuk atau marigold, kembang sepatu, dan herbra. Lalu bunga harotas atau bogenvil, bunga terompet, bakung, mawar air, dan kastuba.
"Bagus! Â Sekarang kita berhitung." Â Guru Marihot mengambil kapur tulis dan merapat ke papan tulis. Papan tulis itu merangkap fungsi sebagai pembatas ruang kelas satu atau kelas dua dengan kelas tiga di ruang gereja HKBP Hutabolon.
"Berapa jumlah murid laki-laki kelas tiga?"
"Tiga belas orang, Gurunami!" Poltak menjawab mewakili teman-temannya.
"Setiap murid membawa sepuluh batang bilah pagar bambu. Jadi berapa semua jumlah bilahnya?" Â
Diam. Tak ada jawaban.  Guru Marihot menyapukan pandangan mata besarnya ke seluruh kepala murid. Kumis tebalnya tampak  berwibawa, memberi perbawa pada tubuhnya yang terbilang mungil untuk ukuran rata-rata orang Batak.
"Berapa Polmer!"
"Tiga belas dikali sepuluh, Gurunami. Seratus tigapuluh" jawab Polmer yakin.