Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #051] Taman Bunga Guru Marihot

5 Mei 2021   16:48 Diperbarui: 6 Mei 2021   07:40 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa; pinterest.com)

"Oi, segar kali pun!"  seru Marolop, setelah dua teguk sirop markisa dingin mengaliri kerongkongannya.  

Udara Hutabolon sudah dingin. Tidak perlu kulkas untuk mendinginkan air minum. Diamkan saja air minum dalam periuk atau ceret, maka akan dingin dengan sendirinya.

Berdiri di depan rumah Guru  Marihot, Poltak mengamati hasil kerja murid-murid kelas tiga. "Rapi juga pagar ini," dia membatin.  Susunan bunga-bunga di pojokan itu indah juga."  Tanpa sadar, dalam hati, Poltak memuji hasil kerja Berta dan kawan-kawannya.

"Enak kalilah jadi guru, ya.  Mau bikin taman bunga, tinggal suruh murid,"  kata Poltak, pelan, kepada Alogo yang berdiri di samping kirinya. Tak mampu menyimpan isi hati, terujar juga kalimat itu dari mulut Poltak.  

"Bah! Itu karunia untuk guru, Poltak.  Jangat elat kau.  Tak baik itu."  Guru Marihot mengingatkan Poltak.  Sebenarnya, tadi, frekuensi suara Poltak sangat rendah. Tapi telinga Guru Marihot rupanya sangat sensitif.

"Olo, Gurunami," Poltak tertunduk, malu, seolah tertangkap basah mengintip perempuan mandi di pancuran.  

Nasihat neneknya mendadak terngiang, "Ingat, Poltak! Jaga hatimu selalu. Hindari elat, late, teal." Elat, iri; late, dengki; teal, munafik. Ditambah dengan hosom, dendam, maka hati seseorang lengkap menjadi  jahat.

"Ayo, anak-anak!  Kita kembali ke kelas!"  ajak Guru Marihot sambil melangkah hendak keluar pagar. Tiba-tiba dia terpaku.  Lalu mendadak tertawa terbahak-bahak.

"Poltak, Poltak!  Macam mana pula kerja kau ini! Semua kau pagari.  Tak ada pun pintu keluar-masuk kau sisakan. Bagaimanalah cara kita keluar dari sini. Hahaha."

Semua anak tak kuasa menahan tawa.  Terbahak-bahak, terkikik-kikik, geli tak kepalang.  Poltak juga terbahak, walau ada rasa malu di hati. Kebodohan sendiri memang harus ditertawakan, jangan disumputkan di bilik hati. 

Pada hari itu, murid kelas tiga SD Hutabolon lulus praktek berhitung.  Tapi tidak becus bikin pagar pekarangan. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun