Kemarin, malam, seorang teman Poltak mengirim pesan kenthir. Â "Gue baru nonton youtube," sapanya. Â "Si M ditangkap tanpa celana," Â tulisnya lebih lanjut.
"Hah! Hoaks itu!" sanggah Poltak dalam hati. Â "M tidak pakai celana. Â Tapi pakai sarung." Kontan Poltak membalas, "Dasar kenthir, elo!"
"Sarung itu busana nasional. Â Pakai sarung, tanda nasionalis," Poltak lanjut membalas. Ditangkap dalam balutan sarung itu terhormat.
Tak urung, Poltak bertanya dalam hati, "Apakah etis menangkap seorang tersangka dalam keadaan tak pakai celana?"Â
Tergantung konteks. Pernah seorang anggota DPR menangkap basah perempuan penjaja seks, tanpa celana, di sebuah hotel di Padang. Harus tanpa celana, supaya terbukti ada transaksi seksual.
Dalam kasus itu, penangkapan tidak etis karena merupakan rekayasa jebakan. Itu sama seperti menyembunyikan celana kawan saat mandi di sungai. Lalu menuduh kawan itu eksibisionis.
Lebih tak etis lagi jika peselingkuh seks tertangkap basah, Â lalu diarak warga keliling kampung tanpa busana. Bukan saja tanpa celana. Â Itu biadab di atas biadab namanya.Â
Tak semua kejadian tanpa celana itu minus adab. Ada juga yang berimplikasi positif. Melancarkan peredaran darah sehingga menjadi segar dan produktif.
Tak percaya? Di Kompasiana  ada seorang kompasianer yang, dulu, sangat produktif menulis artikel hebat.  Selidik punya selidik, ternyata rahasia produktivitasnya adalah "menulis tanpa celana."
Sekarang kompasianer itu sudah jarang banget menulis. Selidik punya selidik, ternyata sekarang dia tak pernah lagi lepas celana.Â
Tak pernah lagi menulis, Kompasianer itu bercita-cita menjadi Admin Kompasiana tahun 2222. Â Aneh? Tidak juga. Cita-citanya kan menjadi admin, bukan jadi penulis. (efte)