Hujan air mata membahasi teritisan gereja HKBP Hutabolon. Â Tujuh orang murid kelas satu dan tiga orang murid kelas dua meraung berurai air mata. Bukan karena sedih, tapi karena takut. Â Takut disuntik mantri kesehatan.
Hari itu, pagi, murid-murid SD Hutabolon mendapat jadwal vaksinasi cacar dan kotipa sekaligus. Â Dua orang mantri kesehatan datang dari Parapat, ibukota kecamatan, Â untuk menyuntiki anak-anak.Â
"Anak-anak harus disuntik cacar dan kotipa." Â Guru Barita memberi arahan. "Kalau tak disuntik cacar, nanti bisa kena pokken. Â Bahaya. Â Muka kalian nanti bisa bopeng macam jalan berlubang-lubang." Â Anak-anak diam menyimak. Â Mereka baru tahu, muka bopeng itu ternyata akibat pokken, cacar air.
"Harus suntik kotipa juga. Â Agar tak kena sakit muntah-muntah dan berak-berak. Â Bisa mati kalian nanti." Â Guru Barita melanjutkan arahannya, tanpa basa-basi. Â Pesannya menakutkan, tapi benar.
Memang orang Batak itu rentan tertular kotipa, kolera-tipus-paratipus. Â Semisal makan di pesta adat, mereka makan berombongan dari selembar daun pisang atau tampi. Â Minum bergantian dari satu garung-garung, alat minum yang terbuat dari potongan ruas bambu lemang. Kalau seorang dari mereka sakit kolera misalnya, maka yang lain bisa ketularan saat makan itu.
Raung tangisan murid-murid langsung bersahutan  saat kedua orang mantri menyiapkan peralatan.  Seorang menyiapkan alat semacam mata pena tajam.  Seorang lagi menyiapkan jarum suntik.  Dua benda tajam itu sangat menakutkan bagi sebagian anak murid.
Ternyata Jonder dan Polmer termasuk di antara kelompok anak yang menangis. Â Terbukalah rahasia. Â Jonder Si Biang kelahi dan Polmer Si Samson Hutabolon ternyata takut pada benda-benda kecil tajam dan runcing.
"Poltak! Â Kau dulu jadi contoh! Â Maju sini!" Â Guru Barita berteriak. Â "Kenapa pula aku?" tanya Poltak dalam hati. Â
Poltak maju mendekati Pak Mantri.  Pada jarum suntik, dia tak takut.  Karena sudah beberapa kali  disuntik mantri kesehatan di Tigaraja, saat terkena demam.  Benda tajam mirip pena itu yang bikin hatinya kembut.  "Jangan-jangan aku mau ditikam," pikirnya cemas.
Cres cres. Â Ternyata alat mirip pena itu cuma digoreskan dua kali, membentuk tanda "sama dengan" tegak, pada pangkal lengan kirinya. Itulah vaksinasi cacar. Â Setelah itu disusul suntikan kotipa di tempat yang sama. Beres.
Terlihat enteng. Â Tapi bagi sejumlah anak, sayatan kembar dan tusukan di pangkal lengan itu terlihat mengerikan. Itulah yang membuat mereka menangis ketakutan. Â
Tapi tak ada ampun. Â Semua murid SD Hutabolon harus dapat suntikan kotipa dan cacar. Â Murid-murid yang menangis meraung-raung itu tak terkecuali. Â Guru Barita selalu siap memegangi mereka dengan erat, agar tak meronta saat disuntik. Â Hal itu mengingatkan Poltak pada tindakan neneknya saat mengebiri babi jantan.
Masalah timbul saat tiba giliran Polmer. Â Samson Hutabolon ini ternyata sangat takut pada pisau cacar dan jarum suntik kotipa itu. Â Dari sepuluh orang murid yang menangis, raungan Polmerlah yang paling besar volumenya.
"Alamat gawat ini," pikir Poltak.  Pandangan matanya melekat pada kedua lubang hidung Polmer.  Dua garis cairan kental kehijauan sudah tampak keluar masuk.  Pertanda Polmer sudah stres. Itu masalah besar.  Karena tenaga "samson"  Polmer akan muncul  jika dia stress.
Benar saja. Saat Pak Mantri siap menggoreskan pisau cacarnya, Polmer menjerit dan meronta, lalu lepas dengan mudahnya dari pegangan Guru Barita. Â Tanpa bisa dicegah, Polmer melarikan diri ke bukit di belakang gereja.
"Bah! Kumat Si Polmer itu!"  Guru Barita merutuk.  "Poltak! Cari  itu Si Polmer! Bawa ke sini!"  Perintah Guru Barita pantang dibantah.  "Kenapa pula aku lagi," keluh Poltak dalam hati, sambil berlari menyusul Polmer ke atas bukit.  Di tak tahu, Guru Barita paham betul, Poltak adalah pawang yang bisa menjinakkan Polmer.
"Polmer!  Keluar kau! Awas, ada babi.  Nanti digigitnya pula  pantatmu macam Si Jonder!" Poltak berteriak di atas bukit.
"Babi! Jangan kau takuti aku, Poltak!" Â Polmer melompat dari balik perdu simarhuting-huting, berlari ketakutan ke arah Poltak.
"Kalau kau tak mau disuntik, Polmer, mukamu nanti berlubang-lubang macam jalan ke kampung Portibi. Â Muntah-muntah dan berak-berak pula kau. Â Bah! Matilah kau, nanti. Â Ngeri kali!" Poltak mengulangi kata-kata Guru Barita. Â
"Bisa begitu, Poltak?"
"Guru Barita tak mungkin bohong, Polmer. Â Dia guru kita."
"Tapi aku takut kalilah melihat pisau dan jarum suntik itu."
"Kau takut melihat pisau dan jarumnya? Atau kau takut sakitnya?"
"Takut melihatnya, Polmer. Â Sakitnya aku tak takutlah. Â Sudah biasa disengat tawon aku, kan?"
Poltak berpikir keras. Â Bagaimana caranya agar Polmer tidak dapat melihat pisau cacar dan jarum suntik kotipa yang menakutinya itu.
Murid-murid kelas satu dan dua hampir terbahak heboh saat melihat Poltak datang menuntun Polmer yang matanya ditutup dengan bebatan kemejanya.  Guru Barita spontan memberi kode keras agar murid-murid diam.  Dia khawatir  Polmer kabur lagi.
Polmer, Samson Hutabolon itu, Â bertelanjang dada dituntun Poltak mendekati Pak Mantri. "Sengatan tawon jauh lebih sakit, Polmer." Â Poltak menguatkan nyali Polmer.Â
Ajaib.  Polmer sama sekali tak bereaksi apa pun saat pisau cacar menggores pangkal lengannya.  Begitupun  saat jarum suntik kotipa menusuk daging lengannya, dia diam saja.  Mungkin matanya mengerinyit.  Tapi tak ada yang bisa melihat mata Polmer  di balik bebatan kemejanya.
"Hebat Si Polmer! Tepuk tangan, anak-anak!" Â Guru Barita memberi aba-aba penyemangat. Â Tepuk tangan, sorak-sorai, dan gelak tawa bergema untuk Polmer. Â Polmer senang. Semua senang.
"Polmer. Â Kau tahu siapa yang menyuntikmu tadi?" Â tanya Poltak setelah Polmer mengenakan bajunya kembali.
"Pak Mantri!"
"Salah."
"Siapa?"
"Akulah!"
"Hah!"
Poltak, sambil terbahak, Â sudah kabur sebelum tangan Polmer berhasil mencekal krah kemejanya. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H