"Kau takut melihat pisau dan jarumnya? Atau kau takut sakitnya?"
"Takut melihatnya, Polmer. Â Sakitnya aku tak takutlah. Â Sudah biasa disengat tawon aku, kan?"
Poltak berpikir keras. Â Bagaimana caranya agar Polmer tidak dapat melihat pisau cacar dan jarum suntik kotipa yang menakutinya itu.
Murid-murid kelas satu dan dua hampir terbahak heboh saat melihat Poltak datang menuntun Polmer yang matanya ditutup dengan bebatan kemejanya.  Guru Barita spontan memberi kode keras agar murid-murid diam.  Dia khawatir  Polmer kabur lagi.
Polmer, Samson Hutabolon itu, Â bertelanjang dada dituntun Poltak mendekati Pak Mantri. "Sengatan tawon jauh lebih sakit, Polmer." Â Poltak menguatkan nyali Polmer.Â
Ajaib.  Polmer sama sekali tak bereaksi apa pun saat pisau cacar menggores pangkal lengannya.  Begitupun  saat jarum suntik kotipa menusuk daging lengannya, dia diam saja.  Mungkin matanya mengerinyit.  Tapi tak ada yang bisa melihat mata Polmer  di balik bebatan kemejanya.
"Hebat Si Polmer! Tepuk tangan, anak-anak!" Â Guru Barita memberi aba-aba penyemangat. Â Tepuk tangan, sorak-sorai, dan gelak tawa bergema untuk Polmer. Â Polmer senang. Semua senang.
"Polmer. Â Kau tahu siapa yang menyuntikmu tadi?" Â tanya Poltak setelah Polmer mengenakan bajunya kembali.
"Pak Mantri!"
"Salah."
"Siapa?"