Merisak sesama Kompasianer lewat artikel di Kompasiana. Â Itu satu-satunya prestasi yang bisa kubanggakan selama menjadi Kompasianer sejak 2014. Â Kusayangkan, dalam Kompasianival Awards takada kategori Best in Bullying.Â
Mudah-mudahan dalam Kompasianival 2021 ini ada kategori itu. Perkiraanku Pak Tjip akan bersaing ketat dengan Daeng Khrisna dan Daeng Rudy sebagai nominee. Pemenangnya pasti Si Poltak yang legendaris.
Mau tahu siapa saja Kompasianer yang telah sukses saya risak? Ini daftarnya: Pak Tjip, Bu Lina, Mas Susy, Mas Aji, Prov. Al Pebrianov, Prof. (HC) Jati Kumoro, Daeng Khrisna, Daeng Rudy, Bang Gurgur, Mas Ozy, Eja Guido, dan Mas Sigit.Â
Ada nama yang terlewat? Tolong jangan ingatkan aku. Kasihan kalau nanti korbannya minta dirisak lagi.
Korban risakanku sudah mewakili semua generasi yang ada di Kompasiana. Mulai dari generasi-generasi pra-milenial sampai generasi milenial. Dari sisi itu, sepertinya aku sudah memenuhi prinsip keadilan antar-generasi.
Substansi artikel risakanku beragam. Mulai dari soal kesialan berburu tupai (Pak Tjip), prestasi nenek-nenek (Bu Lina), gambar profil (Mas Susy), pujaan hati (Mas Aji), puisi baku-tikam sarat lendir (Prov. Al Peb), salah bahasa (Daeng Khrisna, Mas Sigit), numerologi (Daeng Rudy), obsesi hantu (Eja Guido), sampai kualitas jomlo lestari (Mas Ozy).Â
Itu yang kungat. Masih banyak yang kulupa. Â Sebab tukang risak pada dasarnya pelupa. Makanya dia cenderung mengulang perbuatannya.
Merisak itu ada aturannya, agar takkena padal UU-ITE. Atau, setidaknya, agar tak disomadi korban risakan. Sekurangnya ada tiga prinsip yang harus dipatuhi dalam menulis artikel risakan.
Pertama, materi risakan bersumber dari tulisan korban risakan. Â Jadi tidak mengada-ada. Risakanku pada Eja Guido misalnya bersumber pada beberapa ketaklogisan dalam artikel-artikelnya tentang hantu kakartana dan ineweu.
Kedua, tabu menyinggung segi-segi negatif pada isu kesukuan, agama, ras, dan golongan sosial semisal gender, pekerjaan, organisasi, dan generasi. Saat merisak Guido, aku tak mempersoalkan kepercayaan etnis Manggarai, tapi logika penceritaan Guido.Â
Ketiga, artikel risakan harus ditulis secara logis (masuk akal), etis (tak merendahkan), Â dan estetis (diksi dan klausa yang apik). Aku mengikuti kaidah itu dalam penulisan setiap artikel risakan. Sedemikian rupa sehingga orang yang dirisak tak merasa sedang dirisak. Itulah metode "merisak tanpa merisak."
Begitulah, artikel risakanku kepada Eja Guido misalnya mengupas logika perhantuan. Sebagai contoh, bagaimana mungkin Guido yakin seseorang telah diperkosa kakartana, hanya karena anulakinya babak-belur?Â
Lihatlah, artikel risakan pada dasarnya adalah artikel serius. Walaupun kategorinya picisan, tapi mutunya tak boleh recehan.
Lantas, mengapa aku menulis artikel risakan? Alasannya sederhana. Artikel risakan itu adalah salah satu hasil serendipitas dalam penerapan mashab anarkisme literasi dalam penulisan artikel. Aku sebut itu sebagai paham literasi kenthir.
Jadi, menulis artikel risakan adalah konsekuensi dari pilihan menjadi penganut literasi kenthir. Sesederhana itu penjelasannya.
Adakah Kompasianer yang berani merisak-balik aku? Ada. Kusebut namanya di sini: Mas Susy, Prov. Al Peb, Pak Tjip, Daeng Khrisna, dan Daeng Rudy. Mereka dengan suka-cita merisak aku, tanpa menyadari bahwa dengan melakukan itu mereka sebenarnya telah menjadi penganut literasi kenthir. Tolong jangan beri tahu mereka tentang hal itu. (efte)
Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H