Penyakit sosial macam apa yang diidap sebagian warga bangsa ini, sehingga membenci kesenian etnik? Siapa yang mengajari kebencian pada budaya etnik, rumah kesenian asli itu?Â
Kok, orang pada mau-maunya sih didikte membuang identitas sosial sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dipicu oleh dua pemberitaan baru-baru ini. Pertama, berita rencana pelarangan ondel-ondel pengamen oleh Pemda DKI Jakarta. [1] Â Kedua, berita pembubaran pertunjukan jaran kepang oleh Laskar FUI di Medan. [2]
Markilik, mari kita ulik, apa yang telah terjadi.
***
Diberitakan, ondel-ondel pengamen akan dilarang karena dinilai meresahkan warga. Tidak jelas warga mana yang resah, dan mengapa resah.Â
Padahal dari mula, kata budayawan Betawi J.J. Rizal, ondel-ondel memang hadir sebagai pengamen. Dulu untuk menolak bala, lalu diberi jasa oleh orang kampung. Gak ada ondel-ondel, dulu rakyat malah resah.
Ondel-ondel itu seni asli budaya Betawi. Lha, kok sekarang mau dilarang. Harusnya, kan, dibina.
Alokasikanlah dana untuk pembinaan seni ondel-ondel. Itu lebih maslahat ketimbang mengeluarkan uang setriliun rupiah lebih untuk panjar balap F4 yang gak ketahuan juntrungannya.
Memang ondel-ondel pengamen masa kini tampilannya rada berantakan, sih. Ondel-ondelnya kumuh. Pemain kumuh. Musiknya dari tiprikorder. Tidak asli lagi.Â
Kalau hal semacam itu yang dinilai mengganggu, ya, dibenahi, dong. Bisanya jangan cuma ngecat tembok, pilar, dan genteng kota Jakarta aja.