Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bom di Katedral Makassar, Gereja Katolik Tidak Marah

29 Maret 2021   14:00 Diperbarui: 29 Maret 2021   14:37 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perayaaan Minggu Palma di Gereja Katolik (Foto: st-yohanesbosco.com)

Demikian pula, akan selaku ada orang yang tidak suka kepada umat Katolik, semata-mata karena alasan perbedaan. Sehingga, atas alasan itu, sewaktu-waktu bisa saja bom meledak lagi di area gereja Katolik.

Karena itu, umat Katolik mesti bersikap antisipatif, berjaga-jaga terhadap kemungkinan aneka bentuk teror, termasuk bom bunuh diri.  Di gereja-gereja Katolik Jakarta misalnya, diterapkan aturan larangan parkir motor dan mobil di dalam komplek gereja. 

Lalu pada hari-hari perayaan besar, Natal dan Paskah, diterapkan larangan mengenakan jaket dan tas besar, termasuk ransel, saat memasuki areal gereja.  Disamping juga umat wajib melewati pintu detektor logam.

Lebih ketat lagi di masa pandemi kini.  Untuk bisa ikut kebaktian misa di gereja (off-line), umat harus terlebih dahulu mendaftar dan mendapatkan "tiket" misa.  Sebenarnya ini prokes misa di masa pandemi Covid-19.  Tapi jitu juga untuk memastikan umat yang bisa masuk gereja adalah umat yang terdaftar di gereja (paroki) itu.

Langkah-langkah antisipatif itu mungkin merepotkan, bahkan menjengkelkan.  Tapi tidak ada kenyamanan dan keamanan yang diperoleh secara cuma-cuma.   Semua butuh pengorbanan.

Ekspektasi.  Berharap sesuatu yang baik adalah doa.  Setelah mengambil tiga sikap absolutif, intrispektif, dan antisipatif, maka umat Katolik mencanangkan ekspektasi, suatu pengharapan akan kebaikan.

Semoga dengan semua langkah-langkah yang telah ditempuh, risiko gangguan atau teror terhadap kegiatan ibadah tereliminasi.  Umat Katolik berharap,melalui sikap absolutif dan retrospektif, kualitas toleransi antara ragam kelompok umat beragama dapat ditingkatkan.  Lalu, melalui langkah-langkah antisipatif,  kebijakan dan aksi preventif dari pemerintah dapat terbantu.

Sebuah harapan tentu harus disampaikan juga kepada para teroris yang teridentifikasi diri sebagai kelompok radikal berbasis keagamaan. Semoga mereka sudi  menghargai perbedaan iman sebagai anugerah "bhinneka tunggal ika" dalam "Ketuhanan Yang Maha Esa." [2]

***

Semua yang telah diutarakan dalam artikel ini merupakan tafsir dan pemahaman saya sebagai seorang Katolik yang biasa-biasa saja.  Jelas ini bukan sikap resmi Gereja Katolik.  Tapi, berdasarkan pemahaman atas ajaran iman Katolik, saya berkeyakinan Gereja Katolik mengambil sikap seperti itu.

Saya yakin, penyikapan seperti di atas lebih berimplikasi positif ketimbang  sikap mengutuk.  Terlalu boros para tokoh organisasi sosial dan politik di negeri ini mengutuk peristiwa bom bunuh diri di Katedral Makasar.  Dulu, saat terjadi rentetat pemboman di gereja-gereja Katolik (dan Kristen), mereka juga melontarkan kutukan yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun