Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #044] Naik Tipis Turun Tebal

23 Maret 2021   15:49 Diperbarui: 23 Maret 2021   19:01 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Polmer! Kita sedang menulis, bukan membajak sawah!"

Guru Barita mengingatkan Polmer. Tiga lembaran buku tulis halus miliknya telah tembus dan sobek. Mata pena terlalu kuat ditekan dan diguratkan di atas kertas saat belajar menulis halus.  Semacam membajak sawah saja Polmer itu layaknya.

Guru Barita, dengan ketabahan malaikat, harus mengulangi instruksi lagi. Ini untuk ketiga kalinya. Murid-murid kelas dua sudah dua kali gagal mengikuti petunjuk.  Bahkan seekor keledai tak terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama.

"Perhatikan, anak-anak! Pegang tangkai pena di pangkalnya.  Celupkan ujung mata pena ke dalam botol tinta. Ujungnya saja. Jangan semua. Sudah?"

"Sudah, Gurunami!"  Jawaban serentak bergema.

"Bagus. Sekarang tulis halus huruf kecil a, b, c, d, dan e. Perhatikan contohnya di papan tulis. Garis naik tipis, garis turun tebal."

Murid-murid langsung pada kicep berkutat tekun dengan pena, tinta, dan buku tulis halus. Semua serius, sangat serius dengan pelajaran tulis halus. Itu keahlian baru, belum diajarkan di kelas satu.

"Naik tipis, turun tebal. Pena jangan ditekan."  Guru Barita tak lelah mengingatkan.

Setiap anak menampilkan gestur dan ekspresi wajah yang unik. Mulut Alogo mencong-mencong mengikuti gerak meliuk pena. Torso Marolop maju-mundur seiring gerak naik-turun pena di atas kertas. Mata Nalom merem-melek seiring posisi miring-tegak mata pena. Pantat Jonder terangkat-terbanting mengikuti gerak naik-turun pena.  

Paling seru, siapa lagi kalau bukan Polmer.  Dia sudah mulai stres kena semprot Guru Barita.  Buku tulis halusnya porak poranda semacam sawah habis dibajak serampangan.  Sobek tersayat ujung mata pena.  Percik tinta menebar noktah hitam di atas halaman buku.

Semua anak kelas dua sudah tahu, apa yang akan terjadi jika Polmer mulai stress.  Sepasang ingus, ya, sepasang ingusnya mulai meler-mengkeret, srat-srot keluar-masuk kedua lubang hidungnya.  Seiring gerak turun naik pena di atas kerta tulis. 

"Polmer!  Tulis pakai tinta!  Jangan pakai ingus!"  

Guru Barita berteriak dari depan kelas.  Polmer tersentak. Kaget. Srot keras. Tangannya lepas kendali.  Lagi, halaman buku sobek tersayat. Srat-srot keluar-masuk ingus semakin kerap dan cepat.  Seperti gerak piston mobil.

"Poltak! Kau ajarilah itu Si Polmer!"  

Perintah Guru Barita akhirnya keluar juga.  Itu bermakna ganda.  Di satu sisi, Guru Barita angkat tangan mengajari Polmer.  Di sisi lain, Guru Barita mengakui kemampuan Poltak.

Poltak, dalam sekali coba, langsung bisa menulis halus huruf kecil a, b, c, d, dan e.  Ada bakat seni lukis dalam dirinya.  Karena itu, kemampuannya mengendalikan alat tulis sangat baik.  Tahu persis kapan harus agak ditekan, kapan harus agak mengambang.

"Tenang, Polmer.  Kau tarik napaslah pelan-pelan.  Simpan dulu ingus kau itu."

Polmer menatap Poltak penuh harap.  Dia tahu Poltak selalu bisa diandalkan.  Karena itu, dia berusaha menuruti apapun kata  Poltak.

"Ikuti caraku.  Jepit pangkal gagang pena di antara ujung telunjuk dan jari tengah." Polmer menurut. "Tekan dengan jempol. Nah, begitu." Polmer bisa.

"Celupkan ujung mata pena ke dalam botol tinta. Ujungnya saja. Seperti ini."  Poltak memberi teladan. "Nah, begitu.  Benar.  Lihat caraku menulis  huruf a."  

Poltak menarik garis halus miring dengan sisi mata pena dari kiri bawah serong ke kanan atas. Lalu garis membentuk bulatan serupa tetes air, melengkung dari atas ke bawah dan naik lagi ke atas.  Kemudian garis agak miring kiri ke bawah, ditutup lengkungan pendek ke kanan. Semuanya diguratkan dalam batas garis lajur kecil buku tulis.  Polmer mengamati dengan seksama, tanpa srat-srot ingus.  Tanda dia sudah tenang.

"Coba, Polmer.  Pena jangan ditekan kuat.  Lembut saja. Seperti meraba bisul di pantatmu."  Polmer mengikuti petunjuk Poltak. "Nah, begitu.  Bagus."

"Gurunami!  Polmer sudah bisa menulis halus huruf a."  Poltak lapor, bangga pada Polmer. Ternyata, teman  adalah guru terbaik.

"Bah!  Hebatlah kau, Poltak.  Bisa mengajari Si Polmer."

"Aku tak mengajari Polmer, Gurunami.  Dia meniru caraku."

"Bah! Suka-suka hatimulah, Poltak."  Guru Barita garuk-garuk kepala.  "Anak-anak, lihat ke sini. Siapa yang belum bisa menulis halus huruf a, b, c, dan d."

Alogo, Gomgom, Marolop, dan Saur serentak unjuk telunjuk. 

"Kalian berempat, besok pagi, sebelum masuk kelas, belajar dulu sampai bisa pada Poltak!"  Tegas perintah Guru Barita.  Tak seorang murid pun boleh membantah.  Tidak juga Poltak.  Walau dia bukan asisten Guru Barita.

Pelajaran menulis halus memang paling menyiksa bagi murid-murid kelas dua.  Tapi itu sangat berguna untuk  melatih anak-anak menghaluskan rasa dan gerak.  Dalam keseharian, murid-murid terbiasa dengan gerak kasar bertenaga.  Semisal menebaskan parang, mengayunkan cangkul, menetakkan kapak, mengangkat air dari pancuran, dan menuntun kerbau.

"Poltak.  Aku juga mau diajari menulis halus."  Tak ada angin, tak ada hujan, Berta mendadak minta ikut diajari.

"Berta! Jadi anak perempuan itu jangan tuit, ya.  Kau sudah bisa!"  Guru Barita melotot. Disambut tawa riuh anak-anak kelas dua.   Berta langsung tertunduk, menyumputkan wajah merona merah. Malu dibilang tuit, genit. (Bersambung)      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun