"Polmer! Â Tulis pakai tinta! Â Jangan pakai ingus!" Â
Guru Barita berteriak dari depan kelas. Â Polmer tersentak. Kaget. Srot keras. Tangannya lepas kendali. Â Lagi, halaman buku sobek tersayat. Srat-srot keluar-masuk ingus semakin kerap dan cepat. Â Seperti gerak piston mobil.
"Poltak! Kau ajarilah itu Si Polmer!" Â
Perintah Guru Barita akhirnya keluar juga. Â Itu bermakna ganda. Â Di satu sisi, Guru Barita angkat tangan mengajari Polmer. Â Di sisi lain, Guru Barita mengakui kemampuan Poltak.
Poltak, dalam sekali coba, langsung bisa menulis halus huruf kecil a, b, c, d, dan e. Â Ada bakat seni lukis dalam dirinya. Â Karena itu, kemampuannya mengendalikan alat tulis sangat baik. Â Tahu persis kapan harus agak ditekan, kapan harus agak mengambang.
"Tenang, Polmer. Â Kau tarik napaslah pelan-pelan. Â Simpan dulu ingus kau itu."
Polmer menatap Poltak penuh harap.  Dia tahu Poltak selalu bisa diandalkan.  Karena itu, dia berusaha menuruti apapun kata  Poltak.
"Ikuti caraku. Â Jepit pangkal gagang pena di antara ujung telunjuk dan jari tengah." Polmer menurut. "Tekan dengan jempol. Nah, begitu." Polmer bisa.
"Celupkan ujung mata pena ke dalam botol tinta. Ujungnya saja. Seperti ini."  Poltak memberi teladan. "Nah, begitu.  Benar.  Lihat caraku menulis  huruf a." Â
Poltak menarik garis halus miring dengan sisi mata pena dari kiri bawah serong ke kanan atas. Lalu garis membentuk bulatan serupa tetes air, melengkung dari atas ke bawah dan naik lagi ke atas. Â Kemudian garis agak miring kiri ke bawah, ditutup lengkungan pendek ke kanan. Semuanya diguratkan dalam batas garis lajur kecil buku tulis. Â Polmer mengamati dengan seksama, tanpa srat-srot ingus. Â Tanda dia sudah tenang.
"Coba, Polmer. Â Pena jangan ditekan kuat. Â Lembut saja. Seperti meraba bisul di pantatmu." Â Polmer mengikuti petunjuk Poltak. "Nah, begitu. Â Bagus."