Itu kejadian pertama. Â Peristiwa kedua lain lagi masalahnya.
"Apa kerja kau, Poltak." Â Calon mertua menginterogasi Poltak dengan suara keras dan sorot mata tajam. Â Entah kanapa ekspresi calon mertua selalu seperti itu saat menginterogasi calon menantu. Â Seperti sedang menginterogasi saingan cinta.
"Mocok-mocok, Tulang," jawab Poltak meyakinkan.
"Mocok-mocok? Â Mati aku! Mau kau kasih makan apa anak istrimu nanti!"
"Bah, Tulang! Â Sedangkan burung di langit bisa menuai dari ladang yang tak ditaburnya! Â Apalagi aku, manusia!" Â Poltak tersinggung berat dan langsung emosi tinggi.
"Bah! Berta!" Calon mertua berteriak pada anak gadisnya. Â Entah kenapa namanya Berta juga, seperti pacar Poltak pertama. Macam tak ada nama lain saja. "Dengarkan amongmu ini. Â Kau kularang menikah dengan lelaki bernama Poltak ini!"
"Kenapa, Among?" Berta berurai air mata. Â Kok sama, ya, ekspresinya dengan Berta yang dulu.
"Kenapa? Poltak ini menuai dari yang tak ditaburnya. Â Berarti dia bakat copet, nyolong, garong, rampok. Â Among tak sudi punya mantu maling!"
Maka Poltak putus cinta dengan Berta lagi. Kali ini apa-apa. Sebab tak ada lagi rokok. Putus cinta soal biasa, putus rokok luar biasa. Â Kiamatlah dunia bagi Poltak.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H