Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Pertanian Manggarai: Subsistensi, Involusi, Dualisme, atau Nafkah Ganda?

16 Maret 2021   13:44 Diperbarui: 21 Juni 2021   06:21 2311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggapan Marahalim Siagian atas artikel Guido ("Pertanian Subsisten dan Sosiologis Petani Manggarai", K. 15/03/2021) memicu suatu diskusi menarik. Menurut Siagian, penggunaan konsep "involusi pertanian" (Geertz) untuk menjelaskan kondisi "titik impas" (break event point) pada pertanian Manggarai dalam artikel itu kurang pas. 

Siagian lalu menyarankan penggunakan konsep dualisme ekonomi (Boeke) karena bisa membingkai dua jenis usahatani yang eksis di Manggarai, padi sawah (subsisten) dan tanaman kebun (komersial).

Saya pikir memang ada ketaktepatan penggunaan konsep "involusi pertanian" jika yang dimaksud Guido adalah kemandegan dalam arti hasil tani "cukup untuk makan saja" (konsep lokal, tama becur tuka kaut).

Gejala semacam itu lebih tepat disebut subsistensi (Scott), produksi hanya untuk konsumsi keluarga. Hal itu benar jika yang dibicarakan Gudo adalah pertanian padi sawah yang pertumbuhannya relatif stagnan di Manggarai.

Betapapun ada ketaktepatan penggunaan konsep atau teori, saya pikir substansi artikel Guido sangat menarik. Setidaknya artikel itu bisa memberi gambaran kasar tentang gejala subsistensi dan kemandegan pembangunan pertanian, khususnya pangan (padi) di Manggarai.

Gambaran itu memantik tanya lebih jauh dan mendalam tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam ekologi pertanian Manggarai? Pengetahuan itu penting sebagai dasar bagi pemerintah untuk merumuskan pembangunan pertanian dan ekonomi pedesaan di sana.

Klarifikasi Konsep-Konsep

Sebelum diskusi lebih jauh ada baiknya diklarifikasi dulu konsep-konsep yang telah disinggung Guido dan Siagian yaitu subsistensi, involusi (pertanian), dan dualisme (ekonomi). Perlu kesepahaman atas konsep untuk menghindari diskusi yang berketiak-ular.

Subsistensi (Scott) merujuk pada pola ekonomi pertanian yang memperuntukkan hasil produksi untuk pemenuhan konsumsi keluarga semata. Bukan untuk tujuan komersial atau penciptaan surplus (laba).

Mungkin ada saja bagian yang dijual ke pasar untuk mendapatkan uang tunai guna membeli kebutuhan keluarga selain pangan. Di masa lalu, ketika belum ada ekonomi uang, hal itu dilakukan dengan sistem barter.

Involusi pertanian (Geertz) menunjuk pada gejala stagnasi pertanian akibat keterbatasan (mungkin juga penyempitan) lahan pertanian pangan (sawah) di satu sisi dan semakin bertambahnya penduduk (hasil pertumbuhan populasi) yang menggantungkan nafkah (pangan) pada lahan terbatas itu.

Agar semua petani dan buruh tani mendapat bagian, maka diciptakanlah pranata-pranata kesejahteraan sosial pertanian seperti bagi hasil dan bawon (upah natura) yang porsinya semakin mengecil. Porsi mengecil itu dimaksudkan agar semua orang mendapat bagian dari hasil produksi dan peningkatan produksi (kalau ada). Gejala itu oleh Geertz disebut sebagai "kemiskinan terbagi" (shared poverty).

Gejala involusi bisa terjadi dalam konteks ekonomi pertanian baik subsisten maupun komersil (kapitalisme kecil). Sebab intinya di situ adalah "terlalu banyak orang yang bergantung pada terlalu sempit lahan pertanian, sehingga setiap orang hanya kebagian porsi kecil." Porsi kecil itu belum tentu cukup untuk makan setahun, sehingga petani (gurem, buruhtani) harus mencari tambahan nafkah di luar-pertanian pangan .

Sementara itu konsep ekonomi ganda atau dualisme ekonomi (Boeke) menunjuk pada gejala kehadiran dua moda produksi secara berdampingan tapi dengan pengelolaan dan penguasaan hasil yang terpisah. 

Konsep itu sebenarnya digunakan Boeke untuk menggambarkan gejala ekonomi Hindia Belanda. Di satu pihak berkembang maju ekonomi perkebunan (onderneming, tanam paksa) yang dikelola dan dikuasai pekebun kolonial dan asing.

Di lain pihak ada ekonomi pertanian (padi) subsisten yang diusahakan oleh petani desa yang tak mendapat manfaat berarti dari ekonomi kebun. Karena itu mereka harus mengusahakan pertanian subsisten untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.

Nafkah ganda lain lagi. Ini adalah strategi ekonomi untuk keluar dari risiko keterbatasan nafkah tunggal, misalnya semata usaha tani pangan.

Selain usaha tani sawah, atau menjadi buruh tani, petani misalnya mengusahakan juga tanaman keras di pekarangan atau tegalan, atau di lahan kering, sebagai sumber pendapatan tunai. Bahkan juga melakukan usaha ekonomi atau pekerjaan luar-pertanian/non-pertanian sebagai strategi mengatasi paceklik, sebagai contoh.

Ekonomi Pertanian Manggarai

Pertanyaan menarik, apa yang terjadi pada ekonomi pertanian Manggarai? Apakah subsistensi, involusi, dualisme, atau nafkah ganda?

Suatu ketika, saat menanggapi artikel Suherman Agustinus ("Bertahun-tahun Bekerja di Sawah, Kenapa Ekonomi Petani Manggarai Tidak Berkembang?", K. 29/05/2020), saya telah mengemukakan hipotesa involusi pertanian khusus untuk pertanian sawah di sana (lihat, "Kemiskinan Petani Manggarai, Pandangan Orang Luar", K. 01/06/2020).

Asumsinya, sistem lingko dalam pertanian padi sawah di sana relatif tidak berkembang dalam hal luasan dan produktivitas. Akibatnya, sejalan dengan pertumbuhan penduduk, jumlah petani yang menggantungkan nafkah pada sawah lingko semakin besar.

Itu mengoreksi alokasi lingko per keluarga, dengan konsekuensi setiap keluarga mendapatkan lodok (bagian lingko), lahan garapan, yang semakin sempit. Akibatnya perolehan hasil pertanian pangan per keluarga semakin kecil, mungkin tak cukup untuk makan setahun.

Dalam konteks seperti di atas, sawah lingko boleh dikatakan telah menjadi ajang involusi pertanian. Juga sekaligus, sebagai konsekuensinya, menjadi arena kemiskinan berbagi.

Jadi, walaupun sawah bukanlah inti budaya orang Manggarai, tak urung terjadi juga gejala involusi dan kemiskinan terbagi karena "terlalu banyak orang bergantung pada terlalu sempit sawah lingko."

Sekaligus lingko juga menjadi ajang subsistensi. Hal ini mengingat ukuran lodok sebenarnya ditetapkan menurut besarnya tanggungan keluarga, di luar faktor keistimewaan berdasar status sosial.

Itu artinya hasil sawah diperhitungkan hanya cukup untuk kebutuhan makan keluarga. Bahkan sebenarnya tidak cukup mengingat luas lodok yang semakin menyempit dari tahun ke tahun.

Petani Manggarai sangat paham bahwa hasil sawah tidak mencukupi untuk menyokong ekonomi keluarga secara layak. Karena itu diterapkanlah strategi nafkah ganda dengan mengusahakan tanaman niaga (komersial) seperti cengkeh, kopi, kakao, kemiri, dan jambu mete di lahan kering di lereng-lereng perbukitan dan pegunungan.  Juga mengusahakan vanili dan baru-baru ini porang. 

Hasil kebun tanaman komersial itu memungkinkan petani Manggarai memenuhi kebutuhan primer dan sekunder selain pangan. Semisal kebutuhan sandang, rumah, sekolah, dan kesehatan. Ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang sulit dipenuhi jika hanya bertumpu pada ekonomi padi sawah.

Jadi jelas bahwa ekonomi pertanian Manggarai hari ini adalah ekonomi nafkah ganda. Petani sekaligus mengusahakan padi sawah (subsisten) dan kebun tanaman niaga (komersil).

Pola nafkah ganda semacam itu bukan sistem ekonomi dualis seturut konsep Boeke. Sebab penguasaan dan pengelolaan sawah dan kebun ada di tangan petani yang sama.

Itu adalah strategi ekonomi nafkah ganda. Petani Manggarai menerapkannya untuk menghindari gejala kemiskinan berkelanjutan apabila hanya mendasarkan nafkah pada usaha tani sawah yang sempit.

Keluar dari Kemiskinan

Manggarai Raya itu secara keseluruhan adalah kabupaten-kabupaten termiskin di NTT. Itu artinya petani Manggarai, secara rata-rata, sejatinya adalah petani termiskin di NTT.

Pemerintah setempat dan pengamat bisa saja menyalahkan produktivitas pertanian yang rendah dan harga komoditas perkebunan yang rendah sebagai biang kemiskinan petani.

Tetapi pertanyaannya mengapa produktivitas pertanian dan harga hasil pertanian di Manggarai rendah? Apakah karena kesalahan petani yang iptek pertaniannya terbelakang, atau kesalahan pemerintah yang abai memajukan pertanian rakyat?

Tidak akan ada solusi jika pemerintah dan petani saling menyalahkan. Sebab jika satunya salah dan lainnya benar, maka tidak akan ada implikasi perbaikan kecuali yang benar merasa menang.

Saya pikir petani dan pemerintah daerah harus duduk bersama. Lalu mengevaluasi secara terbuka masalah-masalah pertanian rakyat. Khususnya masalah produktivitas rendah dan harga komoditas yang rendah.

Berdasar itu bisa dirumuskan kebijakan dan program modernisasi pertanian Manggarai sejak dari sektor hulu (saprotan), tengah (on-farm), dan hilir (pengolahan, pasar) sampai sektor pendukungnya (riset dan penyuluhan).

Adalah ironi apablila sektor pariwisata Manggarai akan melejit ke aras "kelas dunia", sementara sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup mayoritas rakyat Manggarai tetap terpuruk di "kelas kampung."

Jika pariwisata "kelas dunia" maka pertanian rakyat juga harus "kelas dunia". Sebab jika tidak begitu, maka ekonomi Manggarai kembali ke masa penjajahan, yaitu ekonomi ganda (dualisme) yang memisahkan dunia pariwisata (kapitalis) yang gemerlap dan kaya-raya dan dunia pertanian (subsisten/komersial) yang kumuh dan miskin.

Kondisi semacam itu adalah cikal-bakal kecemburuan sosial yang dapat memicu konflik sosial berupa "perlawanan petani." Jangan sampai terjadi di Manggarai. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun