Ujaran itu telah  memicu kontrovesi dan hujatan pada Puan dari berbagai pihak. Puan dinilai meragukan kepancasilaan masyarakat Sumbar. Tapi memang ada preseden gejala sikap intoleransi beragama di sana. Oleh sebagian orang, ujaran Puan lalu dikaitkan dengan gejala itu.
Jika berpikir dalam konteks Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, maka ujaran Puan adalah pengingat nasionalisme. Ujaran semacam itu layak disampaikan kepada semua daerah yang kini cenderung dikendalikan oleh politik primordial. Â Jika Puan misalnya ke Bali, NTT, dan Papua, ujaran serupa juga layak disampaikan.
Puan agaknya menilai Mesjid Istiqlal sangat tepat sebagai simbol kehadiran Pancasila, UUD, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Â Dia berharap hal itu terartikulasi pada keterbukaan Istiqlal terhadap semua umat beragama. Bukan semata keterbukaan fisik, tetapi tetutama keterbukaan secara sosiologis. Itu sebabnya dia menyebut soal Islam yang moderat dan toleran.
Sesungguhnya, Puan juga harus mengatakan hal serupa tentang tempat ibadah lain. Misalnya tentang Katedral Jakarta, Gereja Emmanuel Jakarta, Pura Besakih, Kelenteng Kwan Bin Sio Tuban dan Candi Borobudur. Â Itu semacam harapan tentang Katolik, Kristen, Hindu, Konghucu, dan Budha yang moderat dan toleran. Â
Ujaran Puan tentang Istiqlal, karena itu, Â sebaiknya ditafsir sebagai ujaran yang harus menjadi perhatian serius bagi semua umat beragama di Indonesia. Pertanyaan reflektifnya, sudahkan warga negara ini mengartikulasikan sikap beragama yang moderat dan toleran?Â
Kita tentu saja bisa merujuk pada indeks toleransi beragama dari Setara Institute sebagai ukuran. Untuk tahun 2020, lima (dari 94) kota yang paling toleran adalah Salatiga, Singkawang, Manado, Tomohon, dan Kupang. Lima kota paling intoleran adalah Depok (terbawah), Tanjungbalai, Banda Aceh, Jakarta, dan Cilegon. Â Perhatikan Jakarta, tempat Istiqlal berada, menrmpati urutan keempat paling intoleran.
Tapi itu hasil pengukuran Setara  Institute. Dibuat dengan frame tertentu yang terbuka untuk diperdebatkan. Tapi setidaknya hasil pengukuran itu bisalah memberi gambaran awal tentang sikap toleransi  beragama di Indonesia.
***
Afa satu pertanyaan yang tetap menggantung. Jika ujaran Puan ditafsir berlaku untuk semua umat beragama, maka seberapa moderat dan tolerankah sikap hidup beragama di Indonesia hari ini? Pertanyaan itu belum pernah dijawab secara resmi. Pengukuran Setara Institute bukan data atau jawaban resmi. Itu hanya semacam data pengawasan sosial dari kelompok masyarakat madani.Â
Saya pikir pemerintah, DPR, Â dan institusi-institusi keagamaan sudah saatnya melakukan pengukuran resmi, sebagai salah satu indikator pembangunan sosial. Sebab hanya dengan mengetahui, lalu menerima, fakta tingkat moderasi dan toleransi sikap beragama itu, pemerintah bisa membuat kebijakan dan program peningkatan sikap positif kehidupan beragama dalam masyarakat bangsa yang majemuk ini.
Setelah moderasi dan toleransi sikap beragama berada di tingkat kondusif, barulah bangsa ini bisa membangun diri dengan tenang. Tanpa terganggu oleh isu-isu dan gerakan-gerakan berlabel keagamaan yang tak ada relevansinya dengan hakekat agama itu sendiri. (*)