Dalam kultur masyarakat Batak, tuak asli adalah tuak manis. Disebut sebagai tuak tangkasan, tuak segar yang baru disadap dari tangkai mayang nira. Karena Tanah Batak berada di dataran tinggi dengan udara dingin, maka tuak itu dengan sendirinya dingin pula. Menyebar rasa segar pada sekujur tubuh saat ditenggak. Juga menguatkan badan karena kandungan karbohidrat (4%) dan gula (20%) yang lumayan besar.
Dalam ritus-ritus adat Batak Toba, tuak manis itu disebut juga sebagai minuman para dewa. Dalam ritual agama asli Si Raja Batak, tuak tangkasan adalah salah satu unsur wajib dalam susunan sesaji kepada Debata Natolu, Tri Dewata Bataraguru-Soripada-Mangalabulan.
Dalam relasi sosial adat, jika boru (pihak penerima isteri) membawa makanan kepada hula-hula (pihak pemberi isteri, perwujudan Bataraguru), lazim pula disertakan tuak natonggi, tuak manis. Susunan menunya adalah "indahan na las, juhut na tabo, tuak natonggi" -- nasi hangat, lauk daging yang nikmat, tuak manis. Itu simbol penghargaan boru terhadap hula-hula yang harus dimuliakan.
Dua ritus adat yang aslinya menyertakan tuak manis juga adalah upacara menanam ompu-ompu, bakung di makam orangtua dan upacara manulangi, menyulangkan makanan pada orangtua yang sudah uzur. Dalam upacara menanam bakung di makam, tuak manis bercampur air dituangkan di atas makam. Sedangkan dalam upacara manulangi, anak dan cucu meminumkan tuak kepada orangtua atau kakek/nenek mereka.
Tuak manis juga minuman wajib bagi seorang perempuan yang baru melahirkan. Tuak diyakini berkhasiat meningkatkan produksi air susu ibu, menyegarkan dan menguatkan tubuh ibu yang baru melahirkan, dan membersihkan tubuh dari ragam penyakit.
Dengan mempersepsikan tuak sebagai air Sorbajati, air susu ibu, dan minuman para Dewata Batak, maka sebenarnya tak masuk akal bagi orang Batak untuk melihat tuak sebagai minuman untuk bersenang-senang dan bermabuk-mabukan. Tuak adalah minuman ramah lingkungan, minuman adat yang ditinggikan.Â
Penggunaan tuak untuk mabuk-mabukan adalah penistaan terhadap adat Batak. Itu pula sebabnya orang Batak yang mabuk tuak dibilang lalaen, dungu, karena menistakan diri dan adatnya sendiri.
***
Komersialisasi tuak di masa Batak modern memang telah menempatkan tuak pada posisi hina. Melalui proses fermentasi, menggunakan kulit kayu raru, kadar alkohol pada tuak dapat dibangkitkan sampai di atas 5 persen.
Minuman itu kemudian dijual lapo-lapo tuak seantero Tanah Batak, juga sampai Sumatera Timur. Dengan kadar alkohol 5 persen ke atas, orang akan mabuk jika meminum tiga gelas ke atas.
Tuak beralkohol bagaimana pun adalah perendahan nilai tuak dari minuman adat, minuman dewa, air susu ibu menjadi minuman untuk pergaulan dan kesenangan semata. Terlebih bagi mereka yang dungu, yang tahu bahwa tuak beralkohol bisa memabukkan, tapi secara sengaja minum dengan dosis berlebih sampai mabuk. Apapun alasannya, tetap saja itu dungu.