"Oi, enak kalilah dipuji pariban itu," Â celetuk Alogo, disambut tawa anak-anak kelas satu lainnya.
"Makanya kau punya paribanlah!"Â
Tembakan pengunci mulut dari Poltak untuk Alogo. Â Entah karena belum lahir, entah karena takada, atau mungkin taktahu, Alogo pernah mengaku tak punya pariban.
Pembagian rapor sekaligus pengumuman kenaikan kelas adalah perjodohan berita gembira dan berita sedih. Berita gembira untuk murid yang naik kelas. Â Berita sedih untuk murid yang tinggal kelas. Â
Berita sedihnya, Dolok dan Togu, dua murid kelas satu, menangis sesenggukan di bangku masing-masing. Â Mereka berdua dinyatakan tinggal kelas.
"Hajablah aku nanti dihajar amongku. Pakai batahi " Â Itulah hal yang paling menakutkan bagi Dolok. Â Lecutan batahi, pecut rotan spesial untuk kerbau, tepat di betisnya. Â Bayangan pecutan itu, akibat tinggal kelas, menghantuinya. Â Sehingga dia menangis sesenggukan. Â
"Bah, kau kan bukan kerbau, Dolok." Â Jonder mulai menyalakan kompor. Â Tapi segera padam karena dipelototi Poltak.
Togu lain pula masalahnya. Â Dia menangis karena takut tarhirim, sakit sebab keinginan badan tak kesampaian.Â
Kata Togu, ibunya sudah berjanji, kalau dia naik kelas maka boleh ikut ke onan Tigaraja-Parapat untuk membeli sepatu spartakus yang sangat diidamkannya. Togu takut tarhirim, lidah kakinya jadi bengkak karena gagal bersepatu.Â
"Tak perlu takut kau, Togu. Â Tahun depan, setelah pakansi, sepatu spartakusku boleh kau pakai." Â
Poltak membujuk Togu. Dia memang tak pernah lagi mengenakan sepatu spartakusnya. Sepatu itu lebih pintar melukai ketimbang menjaga keamanan kakinya.