Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Petani Ternyata Pendukung Fanatik Poligami dan Poliandri

16 Februari 2021   16:54 Diperbarui: 16 Februari 2021   17:39 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk menghindari adunyolot antar basser (buzzer), mari kita buka KBBI Online untuk menyamakan pengertian tentang poligami dan poliandri. Tertulis seperti ini:  poligami/po·li·ga·mi/ n sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan; poliandri/po·li·an·dri/ n sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Jelas, ya?

Koreksi sedikit terhadap erti poligami.  Harusnya, menurut pengertian sosiologis, poligami adalah  "sistem perkawinan yang membolehkan seorang lelaki mempunyai isteri lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan."  Persis kebalikan dari poliandri.  Erti yang tertera pada KBBI Online itu mendua, bisa berlaku untuk lelaki, bisa pula untuk perempuan.  Mana ada perempuan berpoligami.  Kecuali itu perkawinan sejenis kelamin. Tapi untuk kasus seperti itu, saya kira,  harus diciptakan istilah baru. Apa, ya?

Setelah sepakat erti poligami dan poliandri barulah menjelaskan soal  mengapa petani menyukai poligami dan poliandri?  Itu baru namanya berpikir sistematis.  Jelas dulu erti konsep, baru nyerocos blablabla.  Biasakan seperti itu, ya?

Oi, kapan beri penjelasan! Ngomong kosong melulu, macam tukang koyok!

Tahu tukang koyok? Apaan, tuh. Oh,  itu istilah orang Siantar untuk tukang obat yang koar-koar jualan di trotoar.  Jual kaplet vitamin B Complex, tapi dipromosikan sebagai "obat kuat."  "Aku sudah buktikan.  Tanya istriku itu," katanya sambil menunjuk seorang perempuan yang duduk di pojokan. Entah istri siapa pula dia itu.

Lihat. Gara-gara diprotes, pembicaraan jadi melenceng ke luar jalur.  Makanya jangan suka protes.  Duduk manis aja, ya?

Kalau masih ada yang protes, nanti tulisan ini langsung ditutup saja dengan kata "tammat".  Mau gitu?

"Tammat? Dobel m? Ya, itu dialek Batak.  Taklazim bilang "tamat", tapi "tammat".  Bukan "tomat" tapi "tommat".  Jelas, ya?

Baiklah, begini penjelasan mengapa petani fanatik mendukung poligami dan poliandri.  Pertama, ganti dulu suku-suku kata "gami" dan "andri" dengan "nasi".  Hasilnya "polinasi".  Ertinya bukan "banyak nasi", ya, tapi "penyerbukan" atau "proses perkawinan pada tanaman."

Oi, ngaco!  Mana ada hubungan polinasi dengan poligami dan poliandri!  Itu otak-atik gatuk ala Poltak namanya!

Eh, jangan salah.  Pada tanaman, polinasi itu bisa sifatnya poligami bisa pula poliandri.  Ingat, ya, sebelum manusia mengenal poligami dan poliandri, tetumbuhan sudah mempraktekkannya sejak lama. Manusia itu belajar dari tanaman, tauk.

Salah satu tanaman yang fanatik  berpoligami dan berpoliandri adalah jagung.  Tentang hal itu sudah dijelaskan Felix Tani kemarin dalam artikel "Benar, Angin Bisa Bikin Hamil" (K.15.02.21). Jadi takperlu diulangi di sini.

Intinya, perkawinan jagung bersifat poligami sekaligus poliandri.  Hal itu terjadi karena pada jagung sari jantan pisah ranjang (bunga) dengan putik betina, walau tinggal serumah (satu batang). Bunga jantan tidur di ranjang atas, pada malai di pucuk batang jagung.  Sedangkan bunga betina tidur di ranjang bawah, pada tongkol di ketiak daun.  

Tiupan angin melepaskan puluhan juta serbuk sari dari bulirnya, dan  menerbangkannya ke hamparan ladang jagung.  Serbuk sari itu kemudian jatuh ke bunga betina, tepatnya ke untaian rambut yang menjuntai dari ujung tongkol. Rambut-rambut itu adalah saluran ratusan ovarium yang memanjang ke luar untuk menangkap serbuk sari jantan. 

Oleh tiupan angin, serbuk sari jantan itu terbang ke segala penjuru kebun jagung, lalu jatuh membuahi putik betina  di pohon (rumah) lain dan bahkan di kebun (kampung) lain. Nah, itu namanya bunga jantan jagung itu berpoligami, kawin dengan ratusan atau bahkan ribuan bunga betina. Sekitar 95.0 persen ovarium bunga betina jagung dibuahi sari jantan melalui perkawinan poligami seperti itu. Hanya 5.0 persen yang dibuahi sari jantan secara monogami, serumah pisah ranjang.

Dilihat dari sisi bunga betina, jagung itu berpoliandri juga sebenarnya.  Secara atraktif, bunga betina jagung  secara genit(alia) menjulur-julurkan rambut lebatnya untuk menangkap sembarang serbuk sari jantan yang mendekat. Semakin panjang dan kinclong rambutny, semakin banyak sari jantan yang datang melekat.  Nah, ini namanya poliandri, bukan?

Poliandri pada jagung itu gampang dibuktikan.  Dalam sehamparan ladang tanamnya ragam varietas jagung yang bijinya beda warna satu sama lain. Nanti hasilnya biji jagung dalam satu tongkol yang sama akan berwarna-warni.  Itu akibat poliandri.  

Pada manusia juga begitu, bukan?  Kalau seorang perempuan bersuamikan seorang kaukasoid, seorang mongoloid, dan seorang negroid dalam waktu bersamaan, maka anak-anaknya pasti warna-warni juga, bukan?

Sekarang, sudah jelas mengapa petani, khususnya petani jagung fanatik mendukung poligami dan poliandri, bukan?  Jika petani anti-poligami dan anti-poliandri dalam perkawinan tumbuhan, maka hanya 5.0 persen dari ladang jagungnya yang berbuah.  Selebihnya 95.persen menghasilkan tongkol kosong.  Kebayang, kan, seberapa besar kerugian petani? 

Asal tahu saja, biaya produksi jagung itu sekitar Rp 15 juta per hektar.  Lha, kalau panenan hanya 5.0 persen dari luas tanam, itu namanya puso, gagal panen.  Malapetaka itu bagi petani jagung.

Tapi bukan hanya petani yang akan mengalami petaka.  Jika poligami dan poliandri dilarang dalam dunia perjagungan, maka produksi jagung nasional dan dunia akan anjlok tralala.  Mau tahu dampak lanjutnya? 

Panjang rantai dampaknya.  Masyarakat pemakan jagung akan mengalami krisis pangan. Industri pakan ternak defisit bahan baku, sehingga produksi pakan berhenti.  Ternak para peternak, misalnya unggas, akan mengalami krisis pangan juga. Produksi daging dan telur ayam misalnya akan berhenti.  Ayam mana pula yang mau hidup atau sudi bertelur kalau tak diberi makan.  Mendingan mati saja.

Industri biofuel juga akan menjerit. Sekarang ini, jagung menjadi salah satu bahan baku andalan energi terbarukan, yakni biofuel.

Lihatlah, jika jagung dilarang berpoligami dan berpoliandri, maka dunia berpotensi mengalami krisis pangan dan pakan berbasis jagung. Juga mengganggu produksi energi terbarukan biofuel.

Begitulah, bagi petani jagung khususnya, masyarakat dunia umumnya, poligami dan poliandri dalam perkawinan tanaman adalah harga mati.  Tapi hal tersebut tidak perlulah diikuti oleh manusia. Kecuali oleh manusia yang merasa dirinya setongkol jagung.  Awas, loe, ntar dipatuk ayam, lho.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun