Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Keluarga Poltak Menyelamatkan Bumi dari Pekarangan Rumahnya

21 Februari 2021   19:59 Diperbarui: 22 Februari 2021   06:48 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampakan pertanian natural di pekarangan rumah Poltak di Gang Sapi Jakarta (Dokpri)

Menyelamatkan bumi dari pekarangan rumah? Mengapa tidak? Tak perlu menjadi birokrat atau pegiat lingkungan. Cukup jadi warga biasa saja, sudah bisa melakukannya. Syaratnya, punya barang setapak lahan pekarangan.

Tapi tunggu dulu.  Menyelamatkan bumi? Memangnya, bumi dalam bahaya sehingga perlu banget diselamatkan?  

Betul banget. Di mata sains pertanian, bumi kita sedang sakit. Bumi sedang didera kerusakan berkelanjutan, sehingga perlu diselamatkan.  

Kalau tak diselamatkan, akibatnya mengerikan. Beberapa generasi ke depan, bumi akan sekarat. Takmampu lagi menyokong pertanian, khususnya produksi pangan. Akibatnya pangan defisit, manusia kelaparan, lalu sekarat.

Setiap warga bumi bisa, dan wajib, dengan berbagai cara, menyelamatkan bumi. Bertani natural di pekarangan adalah salah satu cara gampang yang bikin kenyang, senang dan tenang.  Itulah yang dilakukan Poltak di rumahnya, Gang Sapi Jakarta.

Pertanian Modern Menyakiti Bumi

Tapi sebelum membabar lakon Poltak, perlu diungkap soal serusak apa sebenarnya bumi kita kini.

Ironisnya, justru pertanianlah salah satu perusak bumi. Persisnya pertanian pangan modern. Ya, agak sulit dipercaya, tapi itu fakta.

Pertanian pangan modern adalah solusi atas ramalan Malthus. Katanya, "akan terjadi krisis pangan akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan produksi pangan."

Monokultur gandum mahaluas. Penyebab erosi dan reduksi keragaman hayati (Foto: 123rf.com)
Monokultur gandum mahaluas. Penyebab erosi dan reduksi keragaman hayati (Foto: 123rf.com)
Modernisasi teknologi pertanian modern datang menangkal ramalan Malthus.  Intensifikasi bersinergi dengan ekstensifikasi.  Irigasi, benih unggul, pupuk, pestisida, dan herbisida dicekokkan ke hamparan monokultur tanaman pangan (gandum, padi, jagung, kedele) yang semakin luas. 

Itulah revolusi pertanian pangan. Hasilnya produksi pangan melonjak drastis, penduduk dunia tenang kenyang. Ramalan Malthus tumbang.

Tapi revolusi pertanian pangan itu pulalah yang merusak dan menyakiti bumi manusia. Ekstensifikasi pertanian pangan telah mengupas vegetasi huran bumi. Akibatnya erosi menggila, longsor menjadi-jadi, dan banjir rajin melanda.

Monokultur tananaman pangan dan wajib tanam varietas tanaman tertentu mereduksi keanekaragaman hayati. Banyak spesies dan varietas tanaman terancam punah atau bahkan punah. Di Indonesia, sejumlah varietas padi lokal hilang.

Penggunaan pupuk kimia buatan secara berlebihan merusak struktur tanah. Tanah menjadi mampat, sehingga tanaman sulit menyerap hara asli. Akibatnya tanaman semakin tergantung pada pupuk buatan. .

Penggunaan pestisida dan herbisida berdampak negatif ganda. Di satu sisi mencemari tanah dan air serta hasil tani (residu).  Di sisi lain lain, khususnya pestisida,  memicu mutasi genetik hama, sehinga muncul jenis bari yang tahan pestisida.

Bumi manusia, khususnya tanah dan air, basis pertanian pangan menjadi rusak dan sakit. Pangan yang dihasilkan pun sebenarnya kurang sehat. Mutu gizinya semakin turun.  Keamanannya juga menurun, mengandung residu pestisida. Hal ini sudah pernah saya udar.[1]

Pertanian Natural Menyehatkan Bumi

Pertanian natural adalah kritik terhadap pertanian modern. Sekaligus ia menjadi solusi terhadap dampak negatif pertanian modern.

Pertanian natural adalah "bertani tanpa-bertani" (do nothing farming). Begitu kata Masanobu Fukuoka, Bapak Pertanian Natural Jepang, orang pertama yang menegakkan prinsip-prinsip pertanian natural.[2]

Masanobu Fukuoka, Bapak Pertanian Natural Jepang (Foto: pinterest.com)
Masanobu Fukuoka, Bapak Pertanian Natural Jepang (Foto: pinterest.com)
Ada empat prinsip dasar. Pertama, jangan mengolah tanah, sebab tanah adalah kehidupan. Mengolah tanah berarti membunuh (organisme) tanah.

Kedua, jangan membunuh gulma, karena gulma bukan musuh. Dengan memahami sosiologi tetumbuhan, dapat diketahui pola simbiose mutualistik antara tanaman pertanian dan "gulma" tertentu.

Ketiga, jangan menggunakan pupuk buatan dan organik.  Tanah dan tumbuhan di atasnya secara alami bisa memulihkan kesuburan tanah.   Pupuk buatan dan organik merusak struktur tanah dan susunan hara.

Keempat, jangan menggunakan pestisida dan herbisida. Pestisida dan herbisida kimiawi mencemarkan tanah, air, dan tanaman. Residunya pada tanaman bersifat toksik. 

Dengan mengikuti empat prinsip itu, pertanian natural secara gradual menyehatkan kembali tanah dan air yang telah dirusak pertanian modern. Bumi menjadi sehat. Tananaman pangan juga menjadi sehat. Hasilnya juga sehat dan bergizi baik.

Sebuah riset di Jepang menunjukkan bahwa kadar antioksidan pada apel hasil pertanian natural dibanding pertanian modern. Rasanya juga lebih enak karena kandungan  gula, asam amino, dan asam organiknya tinggi sedangkan nitrogen nitrat rendah.[3]

Menyelamatkan Bumi dari Pekarangan

Sadar bumi sakit, Poltak memutuskan untuk menerapkan prinsip-prinsip pertanian natural di setapak pekarangan rumahnya di Gang Sapi Jakarta. Dia dan keluarganya ingin ikut menyelamatkan bumi dengan cara sederhana. Itu bagian dari semangat keluarganya melawan kapitalisme dari rumah.[4]

Bukan hal baru sebenarnya. Poltak hanya mereplikasi pekarangan belakang rumah petani Jawa di depan rumahnya. Pekarangan petani Jawa itu dikenal sebagai permakultur, permanen agrikultur. Sekali tanam, panen berkali-kali. Misalnya kunyit, tidak dicabut, tapi digali dan diambil umbinya sebanyak diperlukan. 

Ada sereh, singkong sayur, dan talas Bogor (Dokpri)
Ada sereh, singkong sayur, dan talas Bogor (Dokpri)
Begitulah, Poltak menanam berbagai tanaman bumbu dapur di pekarangannya. Jahe, laos, kunyit, kencur, kunci, pandan, sereh dan jeruk purut. Ada juga singkong sayur dan talas Bogor. Semua itu ditanam tanpa aturan, bergerumbul natural,  di bidang sempit pekarangan rumah keluarganya. 

Semua tanaman itu tumbuh di pekarangan tanpa pupuk, tanpa pestisida, dan tanpa perawatan intensif. Tanah juga tak diolah. Pokoknya, tanaman disemangati untuk tumbuh sendiri, dan menyuburkan tanah dengan guguran daun atau batang tuanya. 

Bibit tanaman itu sebagian besar adalah sisa belanjaan bumbu dan sayur dari pasar. Jahe, laos, kunci, kencur, sereh dan kunyit adalah bumbu dapur yang sudah bertunas. Singkong sayur berasal dari limbah batang sayur yang dibeli di pasar. Semua itu ditancapkan di pekarangan. Begitu cara Poltak bertani natural. Tak perlu beli bibit atau benih.

Keluarga Poltak sudah menikmati hasil pertanian naturalnya. Kalau istrinya butuh kunci untuk masak sayur bayam, misalnya, Poltak tinggal gali di pekarangan. Perlu daun kunyit untuk bikin gulai, tinggal petik di pekarangan.  Dijamin sehat dan enak, karena tanpa pupuk dan pestisida kimiawi.

Pertanian natural itu bagian dari perlawanan keluarga Poltak terhadap kapitalisme. Sekarang kapitalis menjual sayuran dan bumbu organik dengan harga mahal di supermarket. Hati Poltak kesal, maka dia tanam sendiri bumbu dan sayur secara natural di pekarangannya. 

Hasil tani natural lebih tinggi levelnya dibanding hasil tani organik. Sebab pertanian organik masih mengolah tanah, membunuh gulma, dan menggunakan pupuk organik. Tanaman tidak dipersilahkan tumbuh natural.

Begitulah cara keluarga Poltak membantu upaya penyehatan bumi yang sedang sakit. Tidak perlu berkoar-koar kritik ini dan itu, anu dan ani. Cukup mempraktekkan pertanian natural skala mikro di pekarangan. Itu kritik keras kepada pertanian modern, sekaligus solusi cerdas atas kerusakan bumi yang ditimbulkannya. 

Kalau Poltak bisa, kamu juga pasti bisa. Kuncinya, ada kemauan dan setapak kecil pekarangan. (*)

Rujukan:

[1] "Ampas! Itulah Makanan Kita Hari Ini," K.31.08.2020.

[2] Masanobu Fukuoka, Revolusi Sebatang Jerami, YOI: Jakarta, 1991.

[3] Shuichi Sugiyama dan Nagiko Tosima, "Perbandingan Kandungan Nutrisi Sayuran yang Ditanam  secara Alami dan yang Ditanam secara Konvensional," Fakultas Pertanian dan Ilmu Hayati Universitas Hirosaki, 2015 (Diterjemahkan dari Bahasa Jepang oleh Akira Nishimura)

[4] "Keluarga Poltak Melawan Kapitalisme dari Rumah," K. 16.06.2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun