Tapi revolusi pertanian pangan itu pulalah yang merusak dan menyakiti bumi manusia. Ekstensifikasi pertanian pangan telah mengupas vegetasi huran bumi. Akibatnya erosi menggila, longsor menjadi-jadi, dan banjir rajin melanda.
Monokultur tananaman pangan dan wajib tanam varietas tanaman tertentu mereduksi keanekaragaman hayati. Banyak spesies dan varietas tanaman terancam punah atau bahkan punah. Di Indonesia, sejumlah varietas padi lokal hilang.
Penggunaan pupuk kimia buatan secara berlebihan merusak struktur tanah. Tanah menjadi mampat, sehingga tanaman sulit menyerap hara asli. Akibatnya tanaman semakin tergantung pada pupuk buatan. .
Penggunaan pestisida dan herbisida berdampak negatif ganda. Di satu sisi mencemari tanah dan air serta hasil tani (residu). Â Di sisi lain lain, khususnya pestisida, Â memicu mutasi genetik hama, sehinga muncul jenis bari yang tahan pestisida.
Bumi manusia, khususnya tanah dan air, basis pertanian pangan menjadi rusak dan sakit. Pangan yang dihasilkan pun sebenarnya kurang sehat. Mutu gizinya semakin turun. Â Keamanannya juga menurun, mengandung residu pestisida. Hal ini sudah pernah saya udar.[1]
Pertanian Natural Menyehatkan Bumi
Pertanian natural adalah kritik terhadap pertanian modern. Sekaligus ia menjadi solusi terhadap dampak negatif pertanian modern.
Pertanian natural adalah "bertani tanpa-bertani" (do nothing farming). Begitu kata Masanobu Fukuoka, Bapak Pertanian Natural Jepang, orang pertama yang menegakkan prinsip-prinsip pertanian natural.[2]
Kedua, jangan membunuh gulma, karena gulma bukan musuh. Dengan memahami sosiologi tetumbuhan, dapat diketahui pola simbiose mutualistik antara tanaman pertanian dan "gulma" tertentu.
Ketiga, jangan menggunakan pupuk buatan dan organik. Â Tanah dan tumbuhan di atasnya secara alami bisa memulihkan kesuburan tanah. Â Pupuk buatan dan organik merusak struktur tanah dan susunan hara.