"Berta!" Poltak berteriak melotot kesal. Berta terpingkal senang, puas. Aneh, di telinga Poltak, pingkal Berta terdengar merdu menghibur. Kemana perginya lengking penusuk kuping itu.
"Oi! Poltak! Berta! Sedang apa kalian di situ!"
Suara teriakan tiba-tiba terdengar dari arah jalan setapak di gigir barat halaman. Tak salah lagi. Itu suara Si Alogo, teman sekelas Berta dan Poltak di SD Hutabolon. Berta dan Alogo tinggal sekampung di Sosorbinanga.Â
"Ada apa kau bertandang ke rumah Berta, Poltak!"
Alogo, menunggang seekor kerbau ke arah sungai, menyidik Poltak. Ada nada curiga pada suaranya.
"Ini rumah tulangku!Kenapa rupanya!"
"Bah! Tulangmu? Berta paribanmu, ya, Ah, cocok kalilah kalian itu. Hahaha."
"Alogo!" Poltak bertetiak kesal seraya menimpuk Alogo dengan buah kecapi. Meleset. Alogo berkelit sambil melecut lari kerbau tunggangannya. Gelak-tawanya memenuhi udara lembah.
Begitulah, pagi di hari Senin, Alogo meniup-niupkan berita hubungan pariban antara Poltak dan Berta. Ditambahi bumbu penyedap, Â "Mereka sudah dijodohkan." Lezat kalilah.
Setelah tiga putaran bekejaran keliling gereja, Poltak akhirnya berhasil mencengkeram kerah kemeja Alogo. Â Sebuah sepakan dendam siap dilayangkan ke pantat Alogo.
"Hei! Poltak! Alogo! Tak dengarkah kalian dentang lonceng pagi? Sana! Senam pagi dulu!"