Beberapa hari terakhir ini, ramai perbincangan tentang surat AHY, Ketum Partai Demokrat kepada Jokowi, Presiden RI. Isi surat itu minta klarifikasi Presiden Jokowi tentang isu keterlibatan "Orang Istana", tegasnya Kepala KSP Moeldoko, dalam persekongkolan kudeta Ketum PD.
Pratikno, Mensesneg sudah menegaskan, Jokowi tidak membalas surat itu. Sebab isu kudeta itu, kalau benar ada, urusan internal PD sendiri sesuai aturan AD/ART partai. (Cakep!)
Implisit dalam jawaban Pratikno, Â tak usahlah meminjam kuasa Presiden RI untuk menyelesaikan masalah intetnal PD. Â Selesaikan saja sendiri. Jadi pemimpin, kata Moeldoko sebelumnya, harus kuat, jangan baperan. Maksudnya, jangan cengeng.
Keriuhan soal surat AHY yang tak bebalas itu, tertangkap pantauan radar Ulara dan Ulari juga. Dua ekor ular milenial yang, untuk sementara waktu, hidup menggelandang di salah satu kolong jembatan di Jalan Thamrin Jakarta. Â
Perkapan Ulara dan Ulari langsung gayeng. Â Mereka baru tuntas menelisik artikel Daeng Khrisna Pabichara, terutama komentar-komentarnya. Sambil hidung dan mata tetap awas. Â Siapa tahu ada mangsa lewat: tikus. Â Atau, kodok, tak apalah.
Ulara (Ra): Â "Ri, aku setuju banget isi diskusi Daeng Khrisna dan Engkong Felix dalam artikel ini. Â Jokowi tidak membalas surat AHY karena Ketum PD itu lupa mencantumkan kode keras di akhir suratnya. Â Harusnya dia kirim kode 4 x 4 = 16, sempat tidak sempat harus balas."
Ulari (Ri): Â "Tapi kode keras risiko tinggi itu, Ta. Â Nanti bisa-bisa dibalas pedas sadis, 3 : 3 = habis, suka tidak suka kita putus."
Ra: "Wah, iya juga, ya. Buntutnya bisa jadi you and me, end!"
Ri: Â "You and me, end? Sembarangan, loe, Ra. Â AHY yang ditampik Jokowi, kok, Â kita yang end!"
Ra: "Lha, gue gak lagi ngomongin hubungan kita, Ri. Tapi hubungan AHY dan Jokowi." Â
Ri: "Kirain. Â Tapi, Ra, menurut loe, ada apa sebenarnya sebenarnya di balik surat AHY kepada Jokowi itu?"