Data yang ada, sejauh ini, hanya cukup untuk mengatakan bahwa unggahan Ambroncius merupakan tindakan humiliasi yang bersifat personal terhadap Natalius. Persona terhadap persona, bukan ras terhadap ras.
Dasar tindakan humiliasi oleh Ambroncius itu lebih pada kepentingan politik personal, demikian juga dengan respon Natalius. Karena pemicunya adalah penolakan Natalius pada vaksinasi dengan vaksin Sinovac, dan itu kebijakan Pemerintahan Jokowi, maka jelas dengan unggahan itu Ambroncius ingin meraih poin keuntungan politik dari Jokowi.
Sebaliknya, di pihak Natalius unggahan itu secara personal menistakan, merendahkan dan, karena itu, merugikan kepentingan politik personalnya. Tapi, dengan membingkai unggahan itu dalam kategori tindakan rasis, maka Natalius bisa mendulang simpati dan dukungan. (Saya tidak membicarakan siapa yang melakukan pembingkaian itu)
Jadi, bisa dikatakan, ada indikasi bahwa kasus unggahan itu sejatinya bersifat personal tapi kemudian dipolitisasi dan diangkat ke tataran isu rasisme. Bukan sebuah kebetulan kalau Ambroncius dan Natalius adalah “pemain politik.” Mereka berdua paham betul cara menangguk manfaat politik dari sebuah isu sensitif.
***
Jika benar tindakan Ambroncius terhadap Natalius bukan tindakan rasis, melainkan humiliasi, apakah Ambroncius terbebas dari sanksi hukum dan sanksi sosial (moral)? Tidak, sama sekali tidak.
Menyandingkan manusia “seolah setaraf” dengan hewan, jelas adalah tindakan humiliasi yang jahat. Itu jelas merendahkan harkat kemanusiaan, sehingga harus dibawa ke dan diselesaikan di ranah hukum positif.
Tidak ada satu alasan pun yang membenarkan tindakan humiliasi oleh Ambroncius. Unggahannya harus dikatakan “sangat dungu dan jahat”. Sekali lagi, saya ulangi: sangat dungu dan jahat.
Analisis dalam artikel ini tidak dimaksudkan untuk membantah, apalagi mementahkan, sangkaan tindakan rasis Ambroncius dalam proses hukum di Bareskrim Polri. Kesimpulan dalam tulisan ini juga tidak mesti diterima sebagai kebenaran mutlak. Tapi lebih sebagai hipotesis yang perlu diuji lebih ketat.
Satu hal yang perlu diperhatikan di sini, sebaiknya kita tidak punya kecenderungan untuk secara cepat dan serampangan, mengategorikan suatu tindakan yang sebenarnya humiliasi sebagai rasis. Sekarang ada kecenderungan untuk mengategorikan apapun yang bersifat diskriminatif sebagai rasis. Kecenderungan semacam itu buruk dampaknya terhadap persatuan bangsa, “bhinneka tunggal ika”, yang kita telah sepakati bersama.
Jangan pernah membiarkan kepentingan politik personal merusak kepentingan persatuan nasional. Mohon diingat, pernyataan Sumpah Pemuda 1928 pada dasarnya juga adalah pernyataan anti-rasisme.