Jujur, saya langsung teringat pada fabel "Katak yang Sombong" saat menonton dan membaca tentang Pandji Pragiwaksono yang membuat komparasi antara FPI dan NU serta Muhammadyah. Intinya, dengan menyitir Thamrin A. Tomagola seenak udel, Pandji bilang  FPI dekat rakyat sedangkan NU dan Muhammadiyah tidak. Lagi, tokoh FPI merakyat sedangkan tokoh NU dan Muhammadiyah elitis.
Lha, apa kaitannya dengan "Katak yang Sombong." Begini. Â Fabel itu mengisahkan seekor katak yang -- karena kelamaan meraja di dunia tempurung -- merasa dirinya sama besar dengan seekor sapi. Untuk membuktikan itu, digelembungkannyalah perutnya melewati daya regang sehingga meletus. Matilah kau, Katak Sombong.
Belum paham juga? Baik. Mari kita lihat konteks komunikasi saat komparasi itu dilakukan. Konteksnya, dalam kapasitas sebagai seorang komedian,  Pandji sedang melawak.  Saat melontarkan komparasi itu, bisa ditafsir, dia sedang mengatakan bahwa FPI itu sejatinya ibarat  "katak yang sombong." Merasa dirinya sama besar dengan NU dan Muhammadiyah.  Kita tahu, FPI kemudian menemui akhir yang tragis: "Mati" (dalam "rebusan").
Itu humor satiris tingkat tinggi. Butuh kemampuan berpikir kenthir untuk mampu menangkap sisi humor yang terselubung, untuk kemudian  terlonjak membahak tawa.  Tak banyak yang mampu menangkap inti humor Pandji itu. Tapi beruntung saya kenal seorang, Daeng Khrisna Pabichara, seorang Muhammadiyah sejati. Gelak tawa Daeng Khrisna bisa dinikmati pad artikel "Pandji Pragiwaksono Ngocol, Kader NU dan Muhammadiyah Senyum." (K.21.91.20)
Pandji menggunakan dua bentuk sesat logika untuk membangun humor satirisnya. Â Komparasi taksetara dan peminjaman otoritas. Â Keduanya tergolong pseudosains yang memberi kesan ilmiah. Padahal tak lebih dari kamuflase.Â
Pembandingan FPI dengan NU dan Muhammadiyah, seperti dilakukan Pandji, adalah komparasi taksetara. Â Dari segi sejarah, usia, idiologi, bidang kegiatan, kinerja,skala organisasi, dan kontribusi terhadap pembangunan nasional, jelas FPI sangat jauh, terlalu jauh, di bawah dua otganisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Â NU dan Muhammadiyah adalah kekuatan pembangunan nasional. Sedangkan FPI fokus memperjuangkan khilafah menurut persepsi tokoh-tokohnya.
Komparasi FPI dengan NU dan Muhammadiyah dengan demikian adalah sebuah kegagalan berpikir logis. Â Mengatakan FPI lebih maslahat, ketimbang NU dan Muhammadiyah, karena bisa bikin surat sakti untuk memasukkan anak miskin ke sekolah dan membantu orang miskin masuk rumah sakit adalah sesat logika. Sebab NU dan Muhammadiyah tak bikin surat sejenis, tapi membangun sekolah dan balai pengobatan untuk rakyat Indonesia.
Itu bisa disebut sebagai "Sindrom Katak Sombong". Baru bisa sebatas mengeluarkan katabelece lokal lalu, karena katabelecenya "sakti", kinerja kerakyatan FPI  langsung dianggap melebihi NU dan Muhammadiyah yang sudah ikut membangun secara nasional. Satire yang  amat lucu,  bukan? Itu sebabnya umat NU dan Muhammadiyah yang cerdas tertawa terbahak-bahak.
Komparasi taksetara itu kemudian dipagari Pandji dengan meminjam otoritas seorang Profesor, Thamrin A. Tomagola, yang pernah diwawancarainya tahun 2012. Waktu itu Prof. Thamrin bilang FPI memberi perhatian khusus pada orang miskin kota yang bukan merupakan target grup NU dan Muhammadiyah. Â Ujaran Prof. Thamrin itu kemudian dicomot Pandji dari konteks dan masanya, lalu seenaknya digunakan sebagai dasar penyimpulan elitisme NU dan Muhammadiyah.Â
Detail ujaran Prof. Thamrin itu sudah dibabar jelas oleh Daeng Khrisna dalam artikel tinanggap, "Tafsir Menir Pandji Ditampik Profesor Tamrin Tomagola" (K.23.01.21). Â Karena itu saya hanya perlu menjelaskan perujukan oleh Pandji itu tergolong sesat logika jenis pinjam otoritas.
Ada dua masalah yang harus terang di situ. Pertama, ujaran Prof. Thamrin tentang peran FPI membantu orang miskin kota harus dipertanyakan validitas atau kredibilitasnya. Apakah itu diujarkan berdasar  hasil riset sosial ilmiah, atau hanya opini yang terbentuk dari kebiasan  membaca surat kabar atau menonton televisi?Â