Min K, ini bukan kritik, tapi masukan. Saya kan sudah janji stop mengritik. Jadi jangan langsung galak main copot label "Pilihan" pada artikel ini, ya. Peace, please.
Saya tahu Min K benci pada humor. Tapi, saya tahu juga, Min K selalu rindu pada artikel humorku. Kontradiktif. Ya, tapi bisa dimaklumi. Min K itu anak-anak muda yang masih doyan "benci tapi rindu." Jangan dibantah. Ini humor.
Karena masih doyan "benci tapi rindu", wajarlah bila Min K kemudian menyediakan ruang Love dan Diary dalam rumah Life Kompasiana. Itu untuk ruang akspresi bagi kaum milenial yang juga masih doyan "benci tapi rindu." Sampai di sini, saya masih bisa maklum, Min K.
Tapi saya tidak bisa maklum ketika Kompasianer yang paling doyan bermain di ruang Love dan Life ternyata bukan kaum milenial. Â Melainkan kaum pra-milenial yang mestinya sudah tiba di fase pasca-cinta dan pasca-diari. Ini anomali kocak yang tak masuk akal sekaligus menyebalkan.
Min K tentu sudah tahu siapa Kompasianer pra-milenial yang saya maksud. Ya, Daeng Khrisna Pabichara, Mas Aji, dan Pak Tjiptadinata. Mereka ini manusia-manusia kuat yang saya kagumi. Sebab, sedari dulu, setahuku mereka sudah tiba di fase pasca-cinta dan pasca-diari.
Ah, kau bertanya, Â "Apa itu manusia pasca-cinta dan pasca-diari." Â Untug kau tanyakan itu. Â Tanda cerdas. Hanya orang bodoh yang manggut-manggut tanda tak paham. Â
Begini definisi operasionalnya. Ada tiga kategori status manusia menurut status marital. Jomlo, itulah pra-cinta dan pra-diari. Klau tak ada cinta apa pula yang harus ditulis pada diari.Â
Pacaran, itu yang disebut manusia cinta dan diari. Tiap kedipannya adalah ekspresi cinta, benci tapi rindu, Â yang harus ditumpahkan pada diari. Tiap detik begitu. Mabuk cinta, mabuk diari.Â
Kawin, nah, ini kategori manusia pasca-cinta dan pasca-diari. Mereka tak bicara cinta lagi pada diari. Tapi langsung mencinta dalam perbuatan. Tak perlu lagi kata-kata indah cinta. Apalagi diari. Tarikan dan hembusan nafasnya sudah mencinta.
Nah, tidakkah kau cemas bila ada manusia pasca-cinta dan pasca-diari tetiba doyan mengumbar kata-kata cinta atau doyan berkisah pada Di, Dia, Ari, atau Diari? Â Terlebih bila mereka sahabat yang kau kagumi? Tentu muncul tanya cemas: Ada apa? Apakah dia mabuk cinta lagi? Pada siapa? Atau mungkin puber kedua, ketiga, atau keempat?
Itu gawat sekali, Min K. Berbahaya untuk kesehatan jiwa raga. Â Harusnya manusia pasca-cinta dan pasca-diari itu sudah hidup tenang. Lha, ini kok ya kembali ke era "makan tak kenyang tidur tak nyenyak duduk tak tenang." Itu situasi "cinta menyenangkan tapi tak mengenyangkan." Tidakkah itu berbahaya untuk jaum pra-milenial?
Terus terang, saya tidak saja cemas, tapi juga merasa kehilangan, saat Daeng Khrisna, Mas Aji dan Pak Tjip senang tersesat di labirin Love dan Diari itu. Ingin rasanya menjemput mereka ke sana, membawanya kembali ke habitat asli. Tapi kau tahu, kan, Â Min K, saya ini manusia pasca-cinta dan pasca-diari. Sekali aku masuk ruang itu, mereka pasti terbahak dan menahanku bersama mereka di ruang aneh itu.
Itu sebabnya saya minta tolong pada Min K untuk menggusur ruang Love dan Diary dari rumah Life Kompasiana.  Supaya sahabat-sahabatku itu menjadi gelandangan cinta dan diari. Dengan begitu lebih mudah memulangkan mereka ke habitat aslinya.
Tapi alasan utama sebenarnya, saya sudah nyaris tak kuat lagi menahan tarikan mereka untuk ikut mabuk di ruang Love dan Diary. Jadi, Min K, tolonglah lelaki tua ini. Gusurlah dua ruang itu dari K. SMS, Save My Soul! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H